This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Selasa, 28 Februari 2017

FENOMENA “DEMO 411”



FENOMENA “DEMO 411”
DALAM TINJAUAN POLITIK, AGAMA DAN PANCASILA

Compiler: Fikri Farikhin,M.Pd.I


PERINGATAN UNTUK PEMBACA:

Mari kita renungi dengan seksama. Jika memang tidak setuju dengan pendapat ini, mohon untuk tidak saling menyalahkan. semua punya hak untuk menyampaikan pemikirannya. bukan ingin menang sendiri. Jika para pembaca merasa pendapat anda sendirilah yang benar, maka tak perlu membaca pendapat orang lain, karena hal itu bukan menambah ilmu anda, tapi anda hanya ingin bahwa persepesi anda itu diikuti oleh orang lain juga. dan hal itu bukan karakter orang-orang akademisi, para intelektual. mohon dengan sangat untuk tidak terjadi pertengkaran antara kita. ok. semoga diskusi dan renungan ini membawa barakah dan manfaat untuk kita semua amin dan selamat membaca


A.Pendahuluan

Perbincangan mengenai Surat al-Maidah ayat 51 telah menjadi begitu populer dalam beberapa hari terakhir. Selain dikutip karena mengandung ayat yang sering dipahami sebagai larangan memilih pemimpin non-Muslim, Surat al-Maidah ayat 51 menjadi perbincangan hangat terutama karena disebut-sebut oleh Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) yang juga calon gubernur dalam Pemilihan Kepala Daerah Jakarta dalam pertemuannya dengan masyarakat di Kepulawan Seribu baru-baru ini. Banyak yang berpendapat bahwa ucapan Ahok tentang Surat al-Maidah yang intinya berbunyi “Dibohongin pake al-Maidah 51” dianggap telah dengan sengaja melakukan penistaan terhadap agama, atas dasar dugaan penistaan agama inilah yang mengakibatkan terjadinya peristiwa demo pada 04 November 2016 beberapa waktu yang lalu.

Dapat dikatakan bahwa wacana mengenai penodaan agama merupakan wacana yang masih terus menimbulkan polemik. Hal ini terjadi tidak hanya dalam ranah hukum positif, tetapi juga dalam ranah pemikiran keislaman secara luas. Apakah negara berhak memutuskan bahwa seseorang atau kelompok tertentu telah menodai agama? Bukankah yang berhak menentukan seseorang menodai agama hanya Tuhan?, pertanyan-pertanyaan semacam ini sering muncul dalam hal perbincangan mengenai masalah siapa yang paling berhak dan memiliki wewenang dalam memutuskan perkara hukum terkait dengan kasus seputar agama.

Sebenarnya ada dua undang-undang yang bisa dijadikan pintu masuk untuk menyeret seseorang atau kelompok tertentu sebagai penoda agama, yakni Undang-Undang No. 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan Pasal 156a Kitab Undang-Undang Hukum Pidana tentang Penodaan Agama. Terkait dengan pidato Ahok di Kepulauan Seribu, pasal yang bisa menjerat Ahok adalah Pasal 156a KUHP, yang berbunyi “Dipidana dengan penjara selama-lamanya 5 tahun barang siapa dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan: yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia”.

Terkait secara khusus dengan pasal di atas, hal yang perlu digarisbawahi adalah terkait kata “dengan sengaja” dan “mengeluarkan perasaan atau perbuatan”. Dengan memahami secara cermat terkait landasan hukum ini, maka untuk membedah pernyataan Ahok di Kepulauan Seribu haruslah dengan menggunakan sikap kepala dingin dan hati yang jernih. Hal ini penting dilakukan agar cara pandang terhadap kasus ini tidak hanya berputar-putar disekitar masalah itu saja, tetapi juga sebisa mungkin dapat menemukan solusi dan keputusan hukum yang tepat.

Ada beberapa analis yang berpendapat bahwa ungkapan Ahok di atas bukan merupakan sesuatu yang diucapkan begitu saja diruang hampa, melainkan berangkat dari fakta di lapangan. Sejak ikut dalam pilkada sebagai calon Bupati Belitung Timur dan terpilih sebagai Bupati Belitung Timur, Ahok mendapatkan pihak-pihak lawan politik yang kerapkali menggunakan surat al-Maidah ayat 51 sebagai bahan kampanye untuk menolak pemimpin non-Muslim. Begitu pula sejak dilantik sebagai Gubernur DKI Jakarta hingga menjelang Pilkada DKI 2017, tidak sedikit pihak yang menolak pemimpin non-Muslim dengan menggunakan ayat tersebut (Misrawi, Kompas.com).

Terkait dengan konteks permasalahan di atas, hipotesis sementara yang mungkin dilakukan adalah bahwa paling tidak bisa dipahami bahwa makna yang tersirat dalam pidatonya di Kepulauan Seribu, adalah Ahok justru ingin mengajak masyarakat dihadapannya untuk menjauhi politisasi al-Qur’an. Ahok ingin mengatakan, tidak masalah jika orang-orang tidak memilihnya dalam pilkada nanti, tapi jangan politisasi ayat-ayat suci al-Qur’an. Jika hipotesis ini benar, maka peristiwa demo 04 November 2016 yang dilakukan oleh sebagian umat Islam Indonesia guna mencari keadilan atas tindakan penistaan agama yang dilakukan oleh Ahok, adalah sesuatu yang bisa dikatakan “salah paham” terhadap permasalahan yang sesungguhnya.

Namun demikian, terlepas dari konteks di atas, perlu dipahami bahwa demo 04 November 2016 beberapa hari yang lalu merupakan suatu peristiwa yang sangat kompleks yang tidak hanya identik dengan permasalahan agama dan politisasi al-Qur’an. Banyak pihak yang berpendapat bahwa peristiwa itu juga ada kaitannya dengan tindakan beberapa aktor politik yang menunggangi demonstrasi tersebut (Puspitasati, Tempo.com).

Tulisan ini secara umum ingin mencoba menelusuri dan menggali persoalan terkait dengan peristiwa demo 04 Novermber 2016 dan faktor-faktor apa saja yang menimbulkan polemik itu. Namun, secara khusus tulisan ini ingin meninjau lebih jauh persoalan demo 04 November 2016 dari sudut pandang Agama, Politik, Pancasila dan implikasi apa saja yang berdampak pada masalah bangsa dan negara.

B. Perspektif Agama: Tafsir atas Q.S. al-Maidah 51 dan Hukum Menistakan Agama dalam Perspektif Islam

1.Penafsiran Kontekstual atas Q.S. al-Maidah: 51

Secara literal, Q.S. al-Maidah 51 ini berisi tentang larangan umat Islam mengangkat kaum Nasrani dan Yahudi sebagai awliya’. Pertanyaannya adalah apa arti kata tersebut? Bagaimana konteks historisnya? Dan apa ide moral yang mungkin  dikandung oleh ayat tersebut? Sebelum menjawab pertanyaan-pertanyaan ini, perlu dikemukakan terlebih dahulu bahwa untuk memahami Q.S. al-Maidah 51, seseorang harus memperhatikan aspek bahasa, konteks historis, dan ide moral yang terkandung di dalamnya.

Terkait dengan aspek bahasa, sebenarnya ayat tersebut mengandung beberapa kosa kata yang harus dianalisis secara cermat. Namun, tulisan singkat ini tidak dimaksudkan untuk membahas semuanya. Hanya kata awliya’ yang akan diterangkan di sini. Kata tersebut diterjemahkan oleh sebagian di Indonesia dengan ‘pemimpin-pemimpin’. Hal ini bisa dilihat, misalnya, dalam kitab tafsir al-Azhar (Amrullah, 2007: 1760).

Meskipun demikian, apabila melihat kitab-kitab tafsir klasik, maka akan mendapati keterangan yang cukup berbeda dengan sebagian terjemahan Indonesia tersebut. Al-Thabari (1994: 507) menafsirkan kata awliya’ dengan anshar wa hulafa’ (penolong-penolong dan aliansi-aliansi atau teman-teman dekat. Terjemahan yang mendekati dengan penjelasan al-Thabari adalah terjemahan Shihab (2012: 117) atas kata tersebut, yakni ‘para wali’ (teman-teman dekat).

Singkat kata, baik al-Thabari dan Shihab tidak menafsirkan kata tersebut dengan pemimpin-pemimpin pemerintahan. Sementara itu, penulis telah mencermati bahwa di dalam seluruh kandungan al-Qur’an, kata awliya’ terdapat di dalam sembilan ayat yang tersebar di lima surat, termasuk surat al-Maidah, yang memiliki beragam arti dan penerjemahannya sesuai dengan konteksnya. Menurut al-Qur’an versi Departemen Agama RI yang penulis miliki, rincian kata awliya’ sekaligus terjemahannya dapat dilihat sebagai berikut:

    Al-Maidah ayat 51      : Teman setia
    Al-Maidah ayat 57      : Pemimpin
    Al-Maidah ayat 81      : Teman setia
    An-Nisa’ ayat 98         : Teman-teman (mu)
    An-Nisa’ ayat 139       : Pemimpin
    An-Nisa’ ayat 144       : Pemimpin
    At-Taubat ayat 23       : Pelindung
    Al-Mumtahanah ayat 1: Teman-teman setia
    Al-Imran ayat 28         : Pemimpin

Dengan demikian, kata awliya’ yang terkandung dalam berbagai ayat di atas, meski memiliki arti yang searah, namun terdapat berbagai macam penekanan dalam menerjemahkannya sesuai dengan konteks bahasa dan sosial historis yang melingkupinya.

Dari segi konteks historis (asbabun nuzul), diriwayatkan bahwa sebab turunnya ayat ini adalah berkenaan dengan Ubadah bin Shamit Al-Anshary dan Abdullah bin Ubay. Masing-masing mereka mempunyai mitra dengan dengan orang-orang Yahudi yang ada di Madinah. setelah Rasulullah Saw. memperoleh kemenangan dalam perang Badar, maka semakin berkobarlah kebencian dan api dendam di dalam hari orang-orang Yahudi terhadap orang-orang Islam, lalu mengumumkan secara terbuka permusuhannya terhadap mereka, hal ini membuat salah seorang di antara mereka, yaitu Ubadah bin Shamit melepaskan diri dari teman-teman mereka dan ikhlas menjadikan Allah, Rasul-Nya, serta orang-orang Islam sebagai pemimpin dan pelindungnya. Sedangkan Abdullah bin Ubay menolak mengikuti jejak Ubadah dan lebih memilih untuk tetap bergabung dengan kelompok Yahudi dan berdiri di belakang mereka (Jazairi, 2007: 682).

Maka berkenaan dengan peristiwa yang terjadi di atas turunlah Q.S. al-Maidah: 51 yang artinya:

“Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu menjadikan orang Yahudi dan Nasrani sebagai teman setia (mu); mereka satu sama lain saling melindungi. Barang siapa di antara kamu yang menjadikan mereka teman setia, maka sesungguhnya dia termasuk golongan mereka. Sungguh, Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim”

Menurut pendapat yang lain, ayat ini diturunkan tentang Abu Lubabah yang diutus Rasulullah Saw. kepada Bani Quraidhah yang merusak perjanjian dukungan dan perdamaian dengan Rasulullah dan umatnya. Keterangan ini diriwayatkan dari Ikrimah. Sementara itu, dalam riwayat yang lain lagi disebutkan bahwa, As-Suddi berkata, “Ayat ini diturunkan tentang kisah perang Uhud ketika kaum muslim dihinggapi perasaan takut, hingga sekelompok orang dari mereka berniat untuk menjadikan orang-orang Yahudi dan Nashrani sebagai pemimpin” (Al-Qurthubi, 2008: 518).

Terlepas dari variasi riwayat-riwayat tersebut di atas, bisa digarisbahwahi ayat tersebut turun dalam konteks peperangan, di mana kehati-hatian dalam strategi perang harus selalu diperhatikan, sehingga tidak boleh meminta bantuan dari pihak-pihak lain yang belum jelas komitmennya. Dengan kata lain, konteks historis turunnya ayat ini bukan pertemanan dalam situasi damai dan bukan pula konteks pemilihan kepala pemerintahan. Melihat hal-hal tersebut di atas, ide moral atau pesan utama dari ayat ini adalah, sebagai berikut:

Pertama, perintah untuk berteman dengan orang-orang yang bisa dipercaya, khususnya dalam hal-hal yang sangat penting dalam kehidupan bermasyarakat, dan larangan untuk memilih aliansi dan berteman dengan orang yang suka berkhianat. Perilaku adil kepada semua orang harus ditegakkan dan kedzaliman atau ketidakadilan harus ditinggalkan. Karena, dalam kaitannya dengan hidup bersama yang terdiri dari berbagai macam suku dan agama, kelompok di luar Islam juga mempunyai hak dan kewajiban yang sama dengan kaum muslimin. Tidak ada larangan untuk bersahabat dan berbuat baik kepada mereka (Shihab, 2007: 125).

Sebagaimana firman Allah dalam Q.S. al-Mumtahanah: 8, yang artinya “Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik/memberikan sebagian dari harta kamu dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil”.

Kedua, komitmen bersama dan saling menjaga perjanjian atau kesepakatan bersama itu harus ditegakkan dan tidak boleh dikhianati. Apabila komitmen dan perjanjian itu dirusak secara sepihak, maka yang akan terjadi adalah kehilangan kepercayaan dari kelompok yang dikhianati, sebagaimana kehilangan kepercayaan umat Islam Madinah pada masa Nabi kepada kaum Yahudi dan Nashrani yang menyalahi “Piagam Madinah” yang salah satu intinya adalah saling menolong dan membantu antarkomunitas saat itu di Madinah.

Ketiga, ayat tersebut tidak ada hubungannya dengan pemilihan kepala negara atau kepala daerah. Islam hanya mengajarkan bahwa kepala negara atau daerah sebaiknya orang yang mampu berbuat adil kepada seluruh masyarakat yang berada di wilayah kekuasaannya, tanpa memandang perbedaan suku dan agama.

2.Hukum Menistakan Agama dalam Perspektif Islam

Mayoritas ulama mengklaim bahwa larangan mencela simbol keagamaan masih tetap eksis kapan saja dan di mana saja. Mereka menilai bahwa penistaan terhadap agama lain dapat membawa dampak negatif yang juga dapat memantik benih-benih kebencian (Subhan dkk, 2013: 56).

Allah SWT. berfirman dalam Q.S. Al-An’am: 108 yang artinya:

“Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampui batas tanpa pengetahuan. Demikianlah Kami jadikan setiap umat menganggap baik pekerjaan mereka. Kemudian kepada Tuhan mereka kembali, lalu Dia memberitakan kepada mereka apa yang dahulu mereka kerjakan”

Asbabun nuzul ayat tersebut ada beberapa riwayat sebagai berikut:

Diriwayatkan al-Wahidi dari Qatadah, “Kaum muslimin mencela berhala orang-orang kafir lalu mereka balik mencaci maki Tuhan orang Islam, kemudian Allah melarang kaum muslim agar tidak mencela sesembahan kaum jahil yang tidak ada pengetahuan tentang Allah”. Sementara itu, Ibn Abbas berkata dalam riwayat al-Walibi, “mereka (orang-orang kafir) mengatakan, “Wahai Muhammad berhentilah kamu dari menghina Tuhan kami atau sungguh kami akan mengejek Tuhanmu!, kemudian Allah melarang orang Islam agar jangan menghina berhala (sesembahan) orang-orang kafir sehingga dengan rasa permusuhan mereka justru balik mengejek Allah yang tanpa didasari dengan ilmu pengetahuan, lebih-lebih dengen ejekan yang lebih parah (Zuhaili, 1418 H: 322).

Al-Razi (1985: 13) dalam kitabnya “Mafatih al-Ghaib” menilai bahwa secara implisit ayat tersebut merupakan peringatan agar dalam berdakwah tidak terjebak dalam tindakan yang tidak bermanfaat sekaligus merupakan ajakan umat Islam agar tidak bertindak layaknya orang bodoh.

Menurut Zuhaili (1418 H: 324) Allah melarang Rasulnya dan orang Islam agar jangan mencela sesembahan orang-orang musyrik, meskipun itu ada manfaatnya, tetapi nanti justru menimbulkan kerusakan yang lebih besar dari pada manfaatnya, yakni penghinaan kaum musyrik kepada Allah sebagaimana yang dikatakan Ibn Abbas. Ini berarti menunjukkan bahwa manfaat jika mendatangkan kerusakan maka haruslah ditinggalkan. Persoalan ini sebenarnya secara khusus mengacu pada akhlak orang Islam terkait hubungan dengan pemeluk agama lain.

Dalam kasus penistaan agama, baik dilakukan oleh oknum, organisasi atau agama lain, umat jangan mudah terpancing dengan isu-isu yang akan memecah belah umat, bangsa dan NKRI ini. Sebagaimana anjuran para ulama dan para pakar, umat harus bertindak dengan akal sehat dan menimbang antara manfaat dan madharat yang akan menimpa bangsa ini dan umat Islam sehingga jika terjadi penistaan agama maka sudah ada lembaga dan pihak-pihak terkait yang menganganginya. Dan pada akhirnya kerukunan umat beragama masih tercipta secara kondusif dengan saling menghormati.

Masyarakat di Indonesia harus sepatutnya mencintai tanah air dan mempunyai semnagat kebangsaan karena nasionalisme adalah kesadaran keanggotaan dalam suatu bangsa yang secara potensial atau aktual bersama-sama mencapai, mempertahankan dan mengabdikan identitas, integritas, kemakmuran dan kekuatan sebuah bangsa dibahasakan dengan semangat kebangsaan. Nasionalisme adalah persatuan, gotong royong, kebersamaan, dan kerjasama sebuah warna negara untuk mencapai bangsa yang berdaulat dan maju.

3.Latar Belakang Terjadinya Peristiwa Demo 04 November 2016 dan Polemik Pernyataan Ahok yang Dianggap Telah Menistakan Al-Qur’an

Terjadinya peristiwa demo 04 November 2016 beberapa hari yang lalu secara khusus mengacu pada adanya dugaan penistaan agama oleh Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok). Pertanyaan yang terus muncul atas peristiwa ini adalah benarkah Ahok menodai agama?, atas terjadinya polemik ini semua pihak setuju bahwa kasus ini harus di bahwa ke ranah hukum.

Dalam video yang beredar luas, Ahok berkata, “Jangan percaya sama orang, kan bisa aja dalam hati kecil bapak ibu nggak pilih saya, ya kan? Dibohongin pake al-Ma’idah 51, macem-macem itu, itu hak bapak ibu. Jadi, bapak ibu nggak bisa milih, nih, ‘karena saya takut masuk neraka’, nggak apa-apa.”. Banyak orang menyayangkan dan bahkan marah dengan kalimat Ahok yang tidak perlu di atas. Dan Ahok sendiri sudah mengklarifikasi dan meminta maaf bahwa dia sama sekali tidak bermaksud melecehkan siapa pun, apalagi Kitab Suci kaum Muslim. Bagi sebagian orang, kata “dibohongin” memang dirasa keterlaluan (Sirry, Media Online).

Pasalnya, tidak mudah bagi pihak yang berwenang untuk melakukan penegakan hukum yang seadil-adilnya karena dua hal. Pertama, Majelis Ulama Indonesia (MUI) sudah mengeluarkan sikap bahwa Ahok dinyatakan telah menghina al-Qur’an dan menghina ulama. Sikap MUI ini terasa ganjil karena, sekali lagi, Ahok tidak pernah dipanggil untuk melakukan klarifikasi. Ahok diadili secara in absentia. Padahal, MUI dapat melakukan klarifikasi (tabayyun) terlebih dahulu sebelum Ahok dinyatakan bersalah.Kedua, sikap Front Pembela Islam (FPI) yang mengerahkan ribuan massa dengan tuntutan agar Ahok dihukum seberat-beratnya. Sekali lagi, FPI tidak bergerak sendiri, melainkan bergelayut di bawah sikap MUI di atas. Mereka juga merencanakan aksi massa pada 4 November nanti sebagai desakan kepada pihak Kepolisian agar memenjarakan Ahok. Isu yang digelinjangkan: tangkap dan penjarakan penista agama! (Misrawi, Kompas.com).

Yang luput dari perhatian publik, baik mereka yang mendukung ataupun melawan, ialah kenyataan bahwa Ahok menyebut surat al-Ma’idah ayat 51 itu dalam suasana polemik menjelang Pilkada DKI. Dalam iklim polemik, klaim-klaim yang bersifat “melebih-lebihkan” bukan sesuatu yang aneh, melainkan menjadi bagian kampanye di negara yang paling beradab sekalipun.

Ketika Ahok mengatakan “dibohongin pake al-Ma’idah 51”, dia sebenarnya sedang berpolemik melawan kelompok-kelompok tertentu yang menggunakan atau menyalah-gunakan agama untuk tujuan politik (duniawi). Tujuan polemik ialah untuk memenangkan pertarungan argumen. Bahwa kalimat Ahok mengandung distorsi atau melebih-lebihkan, itu dapat dimengerti sebagai pernyataan polemik.

Jadi, kalau mau jujur, makna yang tersirat dalam pidatonya di Kepulauan Seribu, Ahok justru ingin mengajak kita untuk menjauhi politisasi al-Qur’an. Ahok ingin mengatakan, tidak masalah jika ada orang-orang tidak memilihnya dalam pilkada nanti, tapi jangan politisasi ayat-ayat suci al-Qur’an. Hal ini menjadi jelas bahwa sebenarnya Ahok sedang berpolemik dengan para rival serta orang-orang yang tidak mendukungnya akibat dirinya adalah non-muslim, sementara banyak pihak yang menolak Ahok sering menjadikan dan memanfaatkan ayat-ayat al-Qur’an dalam ruang lingkup kepentingan politik semata.

Sementara, jika dibaca secara cermat, sebenarnya surat al-Maidah ayat 51 sama sekali tidak berkaitan dengan masalah kepemimpinan non-muslim. melainkan terkait dengan hubungan sosial dan persahabatan antara orang-orang muslim dan non-muslim dalam konteks peperangan, sebagaimana termaktub dalam sebab-sebab turunnya ayat tersebut. Sebagaimana telah penulis analisis pada sub-bab sebelumnya, hampir semua kitab tafsir dari klasik hingga kontemporer telah menegaskan hal tersebut. Bahkan, terjemahan dari Departemen Agama RI tentang istilah awliya’ adalah “teman setia”, bukan pemimpin. Itu artinya bahwa terjemahan itu telah sesuai dengan konteks turunnya ayat tersebut.

Dalam konteks ini, pandangan Prof. Quraish Shihab dalam Tafsir al-Misbah perlu direnungkan. Yang menyebabkan Yahudi dan Kristen dilarang dijadikan awliya’, kata Prof. Shihab, bukan karena mereka itu Yahudi atau Kristen, melainkan karena sifat-sifat negatif yang disebutkan dalam ayat-ayat sebelumnya. Dengan kata lain, siapa pun berperilaku tercela yang disebutkan dalam ayat 49 dan 50 (di antaranya “mengikuti hawa nafsu” dan “menerapkan hukum jahiliyah”) tidak boleh dijadikan awliya’ (Shihab, 2007: 124).

Surat al-Maidah ayat 51 tidak serta-merta dapat dijadikan sebagai justifikasi untuk menolak pemimpin non-Muslim. Dalam kepemimpinan non-Muslim, saya memilih untuk mengikuti fatwa ulama al-Azhar, Mesir, dalam Lembaga Fatwa Mesir yang menyatakan, tidak ada larangan bagi non-Muslim untuk menjadi gubernur di kawasan mayoritas penduduk Muslim, karena seorang gubernur pada hakikatnya hanya seorang pejabat publik/birokrat yang tunduk pada hukum perundang-undangan. Kekuasaannya tidak bersifat absolut (Misrawi, Kompas.com).

Kembali kepada persoalan apa yang menjadi aspirasi terjadinya demo 04 November dan persoalan apakah Ahok telah menistakan Agama? Karena persoalan ini sedang berada dalam proses hukum, maka sepenuhnya kasus ini kami serahkan kepada pihak yang berwenang untuk menentukan keputusan yang seadil-adilnya, tentunya tanpa ada tekanan apapun dari pihak lain.

C.Perspektif Politik

Presiden Jokowi menyebut ada aktor-aktor politik yang telah menunggangi demo 4 November sehingga memicu kerusuhan pada Jumat malam. Sejumlah politisi memang muncul dan berbaur dengan para pengunjuk rasa. Presiden menyesalkan kejadian ba'da Isya yang seharusnya sudah bubar, tetapi menjadi rusuh. Presiden Jokowi tidak sendiri saat menggelar konferensi pers malam hari itu. Ia didampingi Kapolri Jenderal Pol Tito Karnavian, Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo, Kepala BIN Budi Gunawan, Menko Polhukam Wiranto dan Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin. Pernyataan itu disampaikannya setelah aksi bersama yang berlangsung damai sepanjang hari, berujung kerusuhan di malam hari.

Beberapa politisi memang terlibat secara langsung dalam aksi yang diikuti ratusan ribu orang tersebut. Yang paling mencolok adalah dua Wakil Ketua DPR, yakni Fahri Hamzah dan Fadli Zon. Padahal, sejumlah ormas yang terlibat dalam Aksi Bela Islam II itu sudah menyatakan niatan mereka murni ingin menuntut proses hukum atas penistaan agama Ahok. Massa yang besar, momen yang tepat memang sangat rentan dijadikan panggung politik bagi para politisi. Fahri misalnya, turut berorasi dari mobil komando Gerakan Nasional Pengawal Fatwa (GNPF) MUI yang menginisiasi aksi tersebut. Saat berorasi, Fahri Hamzah malah menyebut tentang upaya menjatuhkan presiden. Upaya pemakzulan, menurutnya, bisa dilakukan melalui dua jalur, yaitu melalui desakan para demonstran dan melalui sidang di DPR. Fahri mengatakan menjatuhkan presiden itu ada dua cara, pertama lewat parlemen ruangan dan kedua lewat parlemen jalanan. Sesampainya di DPR pada Jumat malam hari, politisi yang dipecat dari keanggotaan PKS tersebut mengonfirmasi ulang kepada wartawan tentang materi orasinya seputar pemakzulan terhadap presiden. Menurut klaim sepihak Fahri, situasi di lapangan telah mendukung terbentuknya pemerintahan baru. Sedangkan Fadli Zon, tanpa ragu juga mengungkap tentang banyaknya politisi yang turut serta dalam demo 4 November. Banyak yang ikut anggota DPR. Dari Gerindra pun cukup banyak, dari PAN, PKS, ungkapnya. Padahal, Ketua Umum Gerindra Prabowo Subianto dalam pertemuan dengan Presiden Jokowi beberapa hari sebelumnya sudah sepakat untuk menciptakan situasi yang damai. Selain Fahri dan Fadli Zon, ada berbagai politisi yang ikut berbaur bersama para peserta demo 4 November. Berdasarkan pengamatan tirto.id di lapangan, terlihat di antaranya Fahira Fahmi Idris (Wakil Ketua Komite III DPD RI), Andi Mappetahang Fatwa atau AM Fatwa (politisi PAN yang juga Ketua Badan Kehormatan DPD RI), Ali Mochtar Ngabalin (politikus Partai Golkar, juga Abraham Lunggana atau Haji Lulung (politisi PPP yang juga Wakil Ketua DPRD DKI Jakarta). Tak hanya mereka. Masih ada Amien Rais (Ketua Dewan Kehormatan PAN dan mantan Ketua Umum DPP PAN),  Sodik Mudjahid (Ketua DPP Partai Gerindra), Lucky Hakim (politisi PAN), Rhoma Irama (Ketua Umum Partai Idaman), dan Adhyaksa Dault (redaksiindonesia.com, 9/10/2016).

a.Partai Politik

1) Partai Gerindra

Gerindra meyakini kemenangan Ahok pada Pilkada 2012 merupakan keinginan masyarakat agar Jokowi menjadi Gubernur, bukan karena memilih Ahok. Keputusan Ahok bergonta-ganti partai dianggap sebagai ancaman yang bisa mendorong terjadinya deparpolisasi. Kerenggangan hubungan antara Ahok dan Gerinda terjadi semenjak Ahok memutuskan untuk keluar dari Partai besutan Prabowo dan bertambah meruncing menjelang Pilkada 2017. Selama menjabat sebagai Gubernur, sebagian kader Gerinda menilai Ahok tak berhasil dengan baik. Gaya kepemimpinan ahok yang blak-blakan dan ceplas-ceplos dinilai cenderung kasar dan menzalimi masyarakat Jakarta. Misalnya ketika melakukan penggusuran di Kalijodo, Ahok sempat mengatakan akan menggunakan tank militer apabila warga tak kunjung meninggalkan lokasi (Ramadhany, 2016:147).

Barisan penentang Ahok semakin bertambah jumlahnya semenjak ia meninggalkan partai Gerindra. Ahok keluar lantaran partai pendukungnya dianggap sudah berbeda pendapat mengenai mekanisme pemilihan kepala daerah. Ahok resmi mengundurkan diri dari Gerindra sejak 10 September 2014. Keputusannya mengundurkan diri dari Gerindra ialah karena ia sudah tidak sepakat dengan usulan Gerindra yang ingin pemilihan kepala daerah dipilih oleh DPRD. Ahok yang menjabat sebagai Ketua Dewan Pimpinan Pusat Bidang Politik Partai Gerindra tidak sepakat dengan keputusan partai berlambang burung Garuda itu yang meminta pemilihan kepala daerah oleh DPRD setempat.  Sesuai AD/ART partai politik, kader harus menaati semua keputusan partai. Jika tidak bisa menaati keputusan itu, kader tersebut harus keluar. Maka dari itu, sebagai konsekuensi politik itulah, dia memutuskan untuk hengkang dari partai besutan Prabowo Subianto itu (Kompas.com 10/9/2014).

Ketua Tim Pemenangan DPD Partai Gerindra DKI Jakarta, Syarif, mengatakan Prabowo menginginkan hanya ada dua pasang calon dalam Pilkada DKI 2017. Syarif mengatakan, Prabowo sedang memberikan pengertian kepada Sandiaga mengenai pentingnya kesolidan Koalisi Kekeluargaan. Jika Sandiaga bisa menerima, dia harus siap dengan skenario untuk menjadi bakal calon gubernur atau bakal calon wakil gubernur. Head to head penting dilakukakan mengingat Ahok bukanlah lawan biasa, dia memiliki basis kekuatan independen. (Kompas.com 1/9/2016). Namun, pada akhirnya harapan Gerindra tentang Pilkada DKI 2017 pupus sudah, menurut Wakil Ketua Umum Partai Demokrat, Syarif Hasan mengatakan pertemuan antara empat partai koalisi dalam Pilkada Jakarta pada Rabu malam sudah mengerucutkan nama calon kandidat. Namun, Gerindra tetap menginginkan Sandiaga Uno sebagai calon gubernur Jakarta. Pertemuan antara Partai Demokrat, PPP, PKB, dan PAN sudah mengerucutkan nama calon. Komunikasi dengan Gerindra dan PKS tetap terbuka namun Gerindra ingin Sandiaga tetap nomor satu (Okezone.com 22/10/2016).

2) Partai Demokrat

Jauh sebelum pendaftaran dan penetapan nama cagub dan cawagub DKI Jakarta, Partai Demokrat sudah menutup pintu dukungan kepada petahana Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) untuk maju Pilgub DKI Jakarta 2017. Ketua DPP Partai Demokrat Ruhut Sitompul mengaku, penolakan terhadap Ahok di Pilgub bukan keinginan sepenuhnya dari Ketua Umum Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Menurut dia, ada oknum-oknum petinggi Partai Demokrat yang sengaja melakukan pembisikan terhadap SBY agar menolak mantan Bupati Belitung Timur tersebut. Ruhut yang dengan tegas mendukung Ahok mengaku, tidak akan takut jika nantinya diberi sanksi lantaran membangkang dengan keputusan partai berlogo bintang mercy tersebut. Wakil Ketua Umum Partai Demokrat Syarief Hasan mengatakan, alasan tidak akan mendukung Ahok karena dalam memimpin DKI, mantan Bupati Belitung Timur tersebut belum menunjukan prestasi yang membanggakan. Penolakan dukungan terhadap Ahok tersebut sudah menjadi keputusan dari Ketua Umum Partai Demokrat, Susilo Bambang Yudhoyono (Jawapos.com 29/8/2016).

Partai Demokrat (PD) meminta para kadernya yang ikut aksi demonstrasi pada 4 November 2016 tidak menggunakan atribut atau simbol partai. Demonstrasi yang dilakukan oleh beberapa elemen organisasi masyarakat (ormas) Islam tersebut diharap tidak anarkis. Ketua DPD PD DKI, Nachrowi Ramli mengatakan, sesuai dengan intruksi Ketua Umum PD, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), kader partai yang mengikuti aksi demonstrasi kasus dugaan penistaan agama yang diduga dilakukan Cagub DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) dilarang menggunakan atribut atau simbol-simbol partai. Namun dia membantah bila PD mendukung aksi demonstrasi tersebut dan apabila ada kader yang ikut berdemonstrasi, itu atas nama pribadi bukan nama partai, dan itu adalah hak masing-masing. Pria yang disapa Nara ini menjelaskan, di alam demokrasi aksi demonstrasi oleh masyarakat serta elemen-elemen organisasi kemasyarakat merupakan dinamika yang harus dicermati secara positif oleh semua pihak di tanah air. Namun, mantan kepala lembaga sandi negara ini mengimbau, agar massa yang akan turun menggelar aksi diperkirakan berjumlah 500.000 orang itu tidak melakukan hal-hal yang menjurus pada anarkisme dan merusak nilai-nilai kebhinekaan serta ketatanegaraan yang sudah terbangun puluhan tahun di tanah Indonesia (Sindonews.com 3/11/2016).

Berita tentang keterlibatan Partai Demokrat dalam aksi 4 november hampir seperti asap yang tak berwujud, hal ini patut diduga dari pernyataan SBY didepan media. Pengamat politik Ray Rangkuti menjelaskan, tuduhan kaitan SBY dan demo dipicu oleh keterangan pers di Cikeas dan juga karena Presiden Jokowi menemui tokoh Gerindra yang juga pesaing di pilpres, Prabowo Subianto. Langkah politik Jokowi boleh disebut, hanya SBY orang-orang yang berseberangan dengan Jokowi. (Hanya SBY) yang tidak ditemui Jokowi sebelum kejadian 4 November. Seperti kita ketahui, Jokowi bertemu Pak Prabowo dan dengan beberapa majelis ulama. Pada saat yang bersamaan tidak menemui Pak SBY di Jakarta. Kedua, rekasi yang dimunculkan Pak SBY yang seolah-olah SBY sendiri yang memposisikan dirinya sebagai orang yang dianggap berkaitan dengan peristiwa 4 November. Terakhir, setelah peristwa itu ada pernyataan Pak Jokowi yang menyatakan ada dugaan kerusuhan yang terjadi setelah aksi damai itu ditunggangi oleh kepentingan politik tertentu, inilah yang mendasari (mengapa) mengerucut ke Pak SBY (bbc.com 7/11/2016).

3) Partai-partai ‘Islam’

Penolakan partai-partai Islam terhadap kepemimpinan Ahok memuncak ketika Jokowi terpilih jadi presiden. Kemenangan tersebut berarti naiknya Ahok menjadi Gubernur Jakarta. Penolakan PPP juga ditegaskan oleh politisi senior partai, Bachtiar Chamsyah, kepada media menyebutkan bahwa sebagai partai yang berlandaskan Islam adalah keniscayaan bagi PPP untuk tidak mendukung Ahok. Penolakan tersebut semata-mata hanya perbedaan Agama. Perbedaan akidah tersebut menjadi hal yang prinsipil. Lebih lanjut ditambahkan bahwa agama melarang memilih yang tidak seiman dan harus berpegang pada surat Ali Imran 28 (Ramadhany, 2016:157).

            Ketua Dewan Kehormatan Partai Amanat Nasional (PAN), Amien Rais, dalam pidatonya, yang disampaikan dalam Kongres BM PAN, di Royal Hotel, Kuningan, Jakarta, Sabtu (20/8/2016). Amien Rais menyerukan kepada seluruh kader Barisan Muda Penegak Amanat Nasional (PAN) untuk tidak memilih calon incumbent Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama (Ahok), pada Pilkada DKI Jakarta 2017. Mengapa menolak Ahok? Menurut Amien, lantaran sikap Ahok yang dinilai tidak santun dalam memimpin. Amien menolak Ahok, bukan karena agama dan ras. Bahkan, dia bakal tetap menolak Ahok meskipun menjadi seorang muslim. Menurut Amien, pihaknya tidak memilih Ahok bukan karena agamanya, bukan karena rasnya tapi Ahok itu tidak boleh lagi menjadi Gubernur Jakarta karena dia itu beringas, dia bengis dan hampir menyerupai bandit. Andaikata Ahok itu orang Islam jelas Amien, namanya Ahmad Mahmud, dirinya tetap akan melawan. "Karena dia bengis, dia tidak suka sama orang melarat, digusur. Lebih lanjut Amien mengatakan bahwa Ahok adalah antek global. Amien berulang kali menyampaikan bahwa penolakan dirinya bukan karena agama, bukan karena ras, tapi karena Ahok jadi Gubernur sudah kelewatan (timesindonesia.co.id, 20/8/2016). Amien menjamin partainya tak akan membangun koalisi dengan parpol pendukung petahana Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok, yakni Partai Golkar, Partai Nasdem, dan Partai Hanura. Ia menegaskan, PAN tidak akan mendukung Ahok karena sikapnya yang dianggap tidak pro-rakyat, yang pasti bukan Ahok. Saya sudah wanti-wanti kalau PAN sampai dukung Ahok, saya minta kongres luar biasa (Kompas.com, 12/9/2016).

            Sekretaris Jenderal Dewan Pengurus Pusat (DPP) Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Mustafa Kamal mengaku dapat memahami jika ada anggota PKS yang turut berpartisipasi dalam aksi unjuk rasa di depan Istana. Namun, kader yang berunjuk rasa dilarang menggunakan atribut partai. Silahkan saja ikut aksi, tapi jangan menggunakan atribut partai. Lebih baik menggunakan atribut yang menjunjung tinggi simbol kebangsaan dan keumatan, seperti Bendera Merah Putih. Mustafa Kamal mengemukakan, PKS meyakini bahwa menyuarakan aspirasi adalah hak setiap warga negara yang dijamin penuh oleh konstitusi. Kamal juga meyakini bahwa keluarga besar PKS yang turut serta dalam aksi tersebut menyadari bahwa mereka melakukannya bukan atas nama partai, sehingga tidak perlu menggunakan atribut partai. PKS secara institusional memilih memperjuangkan aspirasi umat Islam lewat parlemen.PKS juga berkomitmen akan terus mengawasi dan mengawal kasus penistaan agama yang diduga dilakukan oleh Gubernur DKI Jakarta non-aktif Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok (kompas.com, 4/11/2016).

            Anggota Komisi III DPR Abdul Kadir Karding menilai, unjukrasa tersebut tidak masalah digelar, karena Indonesia negara demokrasi. Aksi damai untuk menyampaikan suara itu bagian dari demokrasi. Unjuk rasa itu diberi ruang yang proporsional baik oleh pemerintah maupun aparat keamanan. Sekretaris Jenderal (Sekjen) Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) tersebut menambahkan, Indonesia sebagai demokrasi tidak melarang masyarakat untuk berunjuk rasa. Demonstrasi dilakukan secara damai, tertib, dan sesuai aturan (tribunnews.com, 1/11/2016). DPW PKB DKI sudah memutuskan mengusung Sandiaga Uno di Pilgub DKI. DPP PKB pun tampaknya siap mengikuti keputusan partai di tingkat bawah yang menolak mengusung kandidat gubernur petahana Basuki T Purnama (Ahok). Prinsip dasar menolak Ahok. Bukan karena beda agama. Lebih karena memang sesungguhnya kepemimpinan ini biasa-biasa aja. Menurut Karding, elektabilitas Ahok kian hari kian menurun. Itu dilihat PKB sebagai dampak dari kebijakan-kebijakan Ahok yang dinilai banyak membuat masyarakat kecil gelisah. Serapan anggaran Pemprov DKI yang kecil juga menjadi pertimbangan PKB untuk tidak mendukung Ahok. Termasuk kebijakan soal penggusuran yang dianggap PKB kurang tepat. Hal senada juga diucapkan oleh Wasekjen PKB Daniel Johan. Internal PKB di Jakarta disebutnya sudah turun ke basis-basis partai di DKI untuk mensurvei mengenai cagub dan cawagub DKI. Karena DPW dalam mengambil keputusan berdasarkan sosialisasi dan survei ke ranting-ranting basis di DKI yang ternyata banyak menolak Ahok. Dalam Pilgub DKI ini, PKB ternyata tidak harus 'follow' PDIP seperti pada Pilpres 2014 lalu. PDIP dikabarkan akan kembali mengusung Ahok-Djarot untuk Pilgub DKI 2017 (detiknews.com, 30/8/2016).    

b.Organisasi Masyarakat

Peneliti bidang terorisme Sidney Jones menilai demonstrasi yang akan berlangsung pada 4 November mendatang tidak murni dilakukan Front Pembela Islam (FPI) dan sejumlah organisasi Islam dari berbagai daerah. Ada banyak unsur, ada juga seperti unsur ekstrim.  Pernyataan Sidney bukan tanpa dasar. Sebab, dia mengaku mendapat informasi dari sebuah telegram ada perintah yang menyatakan kelompok radikal telah memerintahkan pengikutnya untuk memanfaatkan demo pada Jumat pekan ini. Kelompok ini diduga merupakan ISIS. Dalam perintah itu, mereka diperintahkan untuk terlibat dalam demonstrasi.  Menurut Sidney, potensi kekacauan menjelang pilkada bukan hanya akan tergambar pada demo mendatang. Namun jauh sebelum Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama menyinggung soal ayat Al Quran, potensi kerusuhan sudah terjadi dan dilakukan kelompok radikal. Dia mencontohkan kasus penyerangan tiga polisi di Tangerang yang terduga ISIS. Ribuan umat Islam berencana menggelar demo di Jakarta pada Jumat, 4 Nopember nanti. Menurut Sidney, demo itu juga tidak bisa dibilang tanpa biaya sedikit. Sebab, ada ribuan massa yang datang dari luar Jakarta Tentu ada logistik, akomodasi, dan transport yang dihabiskan. Dia mengaku tidak tahu siapa pihak yang mendanai aksi demo itu. Namun dia menduga ada unsur politik yang terlibat. Sidney mengatakan, beredarnya foto orang Indonesia di Suriah yang menggunakan seruan kebencian terhadap Basuki alias Ahok juga menjadi tanda. Dia menduga ada keterkaitan antara kelompok ISIS di Suriah dengan kelompok radikal di Indonesia dalam konteks keterlibatan pada demo mendatang. Paling sedikit sudah ada hubungan dari mereka dengan kelompok keras di Indonesia. Sidney justru menyayangkan sikap pemerintah dan organisasi keagamaan besar di Indonesia. Dia mempertanyakan mengapa pemerintah tidak dari dulu memanggil Gubernur DKI Jakarta dan organisasi Islam untuk mendinginkan situasi. Dia menilai demo pada 4 November nanti sebagai akibat dari sikap pemerintah yang tidak segera turun tangan. Dia pun menyesalkan politikus di Indonesia yang terkesan membiarkan kelompok-kelompok garis keras menguasai politik di Tanah Air (Tempo.co, 1/11/2016).

FPI berpandangan bahwa kebijakan Ahok mendiskreditkan umat Islam, pelarangan sejumlah kegiatan yang berhubungan dengan tradisi Islam, seperti tablig akbar di Monas, takbir keliling, dan pemotongan hewan kurban dijalanan dan disekolah-sekolah. FPI kwatir Ahok yang bersala dari minoritas akan makin melakukan tindakan-tindakan diskriminatif jika duduk sebagai pemimpin DKI. FPI bahkan terang-terangan menyebut Ahok sebagai musuh Islam. FPI menilai Ahok terlalu arogan, kasar dan tak bermoral sehingga tak layak menjadi pemimpin ibu kota dan gayanya selama ini tidak mencerminkan sikap pemimpin daerah setingkat jakarta (Ramadhany, 2016: 102).

Para tokoh Islam itu membentuk Gerakan Masyarakat Jakarta (GMJ) Tolak Ahok. Mereka bersepakat akan melengserkan Ahok lewat jalur konstitusi. Imam Besar Front Pembela Islam (FPI) Habib Muhammad Rizieq Syihab yang hadir dalam pertemuan tersebut menguraikan sejumlah alasan mengapa umat Islam wajib menolak Ahok. Ada sejumlah kebijakan dan perilaku negatif Ahok selama menjalankan jabatan dan fungsinya sebagai Wakil Gubernur DKI Jakarta yang menimbulkan berbagai masalah serius, antara lain: pertama, kerasahan umat Islam DKI Jakarta atas agama Ahok yang non Islam yang akan naik menjadi Gubernur DKI Jakarta. Kedua, keresahan masyarakat Tionghoa di Jakarta dan daerah lainnya, karena sikap arogansi Ahok bertentangan dengan falsafah masyarakat Tionghoa yang ramah lagi santun, sehingga dikhawatirkan akan bisa menimbulkan dan menyulut aksi anti Cina di Indonesia. Ketiga, keresahan umat beragama di Jakarta atas wacana yang pernah dilontarkan Ahok terkait penghapusan status agama di KTP warga DKI Jakarta. Keempat, penghinaan terhadap agama Islam juga agama yang lain yang mana Ahok mengatakan ayat-ayat konstitusi di atas ayat-ayat suci. Kelima, menggusur dua masjid di TIM (Taman Ismail Marzuki) dan Jatinegara. Keenam, merubah pakaian seragam sekolah muslim/ah pada hari Jum’at dari baju muslim menjadi pakaian adat. Ketujuh, wacana Ahok untuk merubah jam sekolah menjadi jam 9 pagi yang nantinya akan menyebabkan anak-anak umat Islam tidak lagi bangun shubuh. Kedelapan, mengurangi bantuan terhadap majelis taklim dari 900 majelis taklim menjadi 80 majelis taklim. Kesembilan, mengurangi kuota untuk bantuan pembangunan masjid dari 1.000 Masjid selama 1 tahun menjadi 300 masjid selama 1 tahun. Kesepuluh, menghapuskan bantuan untuk madrasah dan sekolah Islam. Kesebelas, menghentikan ​bantuan makan untuk jamaah haji DKI Jakarta di tahun 2014. Kedua belas, mendukung pembangunan Gereja yang tidak sesuai dengan peruntukan. Ketiga belas, menempati posisi-posisi ketua lembaga-lembaga keislaman di bawah Pemda DKI Jakarta. Keempat belas, banyak kemaksiatan dan kemunkaran yang dilakukan Ahok salah satunya akan melokalisasi tempat prostitusi/pelacuran. Kelima belas, penghinaan Ahok terhadap ormas Islam yang menuntut penutupan semua tempat pelacuran dengan menyebutnya sebagai ormas munafik.  Keenam belas, tidak bisa mengayomi dan turun ke warga DKI Jakarta dalam kegiatan-kegiatan keagamaan. Ketujuh belas, penyalahgunaan jabatan untuk misi Kristenisasi dengan kedok lelang jabatan sehingga lurah-lurah non Islam menjadi lurah di tengah warga yang mayoritas beragama Islam. Ia juga sudah melelang jabatan Kepala Sekolah Negeri se DKI, saat ini di Jakarta Barat saat saja 80% kepala sekolah negeri beragama Kristen. Kedelapan belas, arogansi Ahok terhadap PNS dari jajaran pemda DKI Jakarta hingga tingkat kelurahan, bahkan pernah memarahi mereka dengan menyebutnya sebagai "binatang". Kesembilan belas, penghinaan Ahok terhadap para anggota DPRD DKI Jakarta dengan menyebut mereka sebagai pemeras dan tukang palak serta suka memperbudak Pemda sebagaimana dilansir oleh berbagai media cetak dan elektronik. Kedua puluh, penghinaan Ahok terhadap rakyat dan pejabat di Jakarta dengan mengatakan “Bajingan di Jakarta mulai dari rakyat jelata hingga pejabat” yang dimuat Tribunnews.com, Kamis, 4 September 2014. Kedua puluh satu, tidak legitimate karena Ahok bukan pilihan mayoritas warga DKI Jakarta. Terpilihnya Ahok hanya karena satu paket dengan Jokowi yang memiliki pencitraan dan elektabilitas tinggi. Itu pun yang memilih Jokowi-Ahok hanya sepertiga warga Jakarta. Kedua puluh dua, melanggar konstitusi dengan menerbitkan Instruksi Gubernur No 67 tahun 2014, saat menjabat Plt. Gubernur DKI Jakarta ketika Jokowi cuti untuk Pilpres, yang berisi tentang pelarangan penjualan hewan kurban di tempat umum dan pemotongannya di halaman sekolah dan masjid serta fasilitas publik ​lainnya pada saat hari raya Idul Adha. Kedua puluh tiga, melanggar kearifan lokal karena penjualan hewan kurban di tempat umum dan pemotongannya di halaman sekolah dan masjid serta fasilitas publik ​lainnya pada saat hari raya Idul Adha adalah sudah menjadi tradisi umat Islam Indonesia sejak ratusan tahun lalu. Kedua puluh empat, menodai Islam karena keputusan tersebut telah menghina syariat kurban yang menjadi bagian penting dari syiar Islam. Dan yang kedua puluh lima, penyebab terjadinya kerusuhan Tanah Abang dan insiden DPRD sebagai akibat dari keputusan kontroversialnya tersebut. "Itu semua sudah cukup menjadi alasan mengapa umat Islam khususnya warga DKI Jakarta untuk menuntut Ahok dilengserkan. Dan sudah cukup alasan bagi DPRD Jakarta untuk menggunakan hak interplasi, hak angket, dan hak impeacment kepada Kemendagri lalu meminta fatwa Mahkamah Agung (MA) agar Ahok diberhentikan," pungkas Habib Rizieq (suara-islam.com, 4/10/2016).

Ketua Dewan Syuro Front Pembela Islam (FPI) KH. Misbahul Anam menegaskan umat Islam khususnya yang menjadi warga DKI Jakarta wajib bersatu menolak Basuki Purnama alias Ahok menjadi gubernur. Dan wajib bagi anggota DPRD DKI untuk sidang istimewa untuk penolakan Ahok sebagai realisasi wakil rakyat. Dia menyebut minimal ada lima alasan menolak Ahok. “Pertama, Tidak ada dalil pemimpin kafir yang adil apalagi melindungi warga muslim. Kedua, Ahok itu arogan, sombong bahkan kerap berkata kasar. Ketiga, dari berbagai elemen masyarakat DKI sudah muak dan menolak kepemimpinannya. Keempat, Ahok selalu teriak demokrasi. Dalam demokrasi tidak ada minoritas memimpin mayoritas. Lihat Amerika sebagai negara yang katanya guru demokrasi, tidak pernah ada gubernur atau menteri muslim karena Amerika negara kafir. Atau lihat Bali, kemarin ada calon gubernur beragama Hindu yang ditolak hanya karena sering pakai peci, karena peci dianggap simbol Islam. Dan yang kelima, alasan menolak Ahok adalah karena warga DKI mayoritas pribumi-Muslim sedangkan Ahok Cina-kafir (arrahman.com, 24/9/2014).

Julukan barisan 'Anti Ahok' tak salah disematkan ke Front Pembela Islam (FPI). Pelbagai macam demonstrasi dilakukan oleh ormas Islam ini untuk 'menjatuhkan' Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok). FPI pada 4 November bersama sejumlah ormas Islam lainnya akan kembali menggelar aksi demonstrasi besar-besaran. Kali ini, untuk menuntut adanya proses hukum terhadap dugaan penistaan agama yang dialamatkan ke Ahok karena mengutip surah Al Maidah 51. Front Pembela Islam memastikan tak akan mendukung pencalonan Ahok dalam Pilkada DKI tahun 2017. Juru Bicara FPI Munarman bahkan menyebut tak ada calon gubernur nomor urut dua. FPI tak menganggap mantan Bupati Belitung Timur tersebut yang mendapatkan nomor urut dua di Pilkada DKI tahun 2017. Munarman mengaku, Pilkada DKI tahun 2017 hanya diikuti oleh dua pasangan calon, yaitu pasangan nomor urut satu, Agus Yudhoyono- Sylviana Murni dan pasangan nomor urut tiga, Anies Baswedan- Sandiaga Uno. Menurut Munarman, calonnya cuma dua, nomor satu sama nomor tiga. Maka dari itu, Munarman menyebut FPI akan mendukung pencalonan dari salah satu calon, yaitu Agus Yudhoyono atau Anies Baswedan. Meski, dia tak mau memastikan bakal kemana suara FPI pada Pilkada DKI tahun 2017, (FPI dukung) kalau nggak nomor satu ya tiga. Jadi kalau tanya saya, cuma ada dua calon, nomor satu sama nomor tiga (merdeka.com, 28/10/2016).

c. Lembaga Keagamaan

Imam Besar Masjid Istiqlal Prof Dr KH Nasarudin Umar menegaskan umat Islam yang akan mengikuti demonstrasi, 4 November mendatang, agar tidak anarkis, menjaga persatuan, dan taat aturan. Selain itu, aparat kepolisian harus cermat dan super hati-hati dalam melakukan pengamanan karena aksi ini akan sulit dideteksi terkait potensi kemungkinan ditunggangi kelompok radikal. Menurut Nasarudin, dari informasi yang ia terima, beberapa ulama dan tokoh Islam akan ikut kegiatan tersebut seperti Ketua MUI KH Ma’ruf Amin, KH Didin Hafidhuddin, mantan Ketua Umum Muhammadiyah Din Syamsudin, KH Abdullah Gymnastiar, Ustadz Yusuf Mansur,  dan Ustadz Arifin Ilham. Bahkan juga ada beberapa anggota DPR. Ia yakin dengan adanya kepemimpinan dan bimbingan para ulama dari MUI, NU, dan Muhammadiyah, serta para tokoh lainnya, aksi itu akan berjalan lancar dan umat tidak terpancing oleh kelompok-kelompok tertentu yang ingin membenturkan Islam dengan kepentingan lainnya, terutama yang yang ingin memecah belah NKRI. Nasarudin menilai, aksi demonstrasi merupakan bentuk dukungan umat Islam kepada pemerintah untuk melakukan tindakan terhadap upaya-upaya yang melecehkan agama Islam dan telah menyinggung perasaan umat. Ia memuji pernyataan Kapolri, Panglima TNI, dan Kapolda Metro Jaya, yang melarang anggotanya menggunakan senjata dalam mengamankan aksi itu. Demontrasi dilakukan setelah salat Jumat dari Masjid Istiqlal menuju Istana Negara. Sebagai pimpinan Masjid Istiqlal, Nasarudin Umar tidak bisa melarang umat Islam untuk datang. Namun ia menegaskan, pihaknya tidak mau menjadikan Masjid Istiqlal sebagai panggung politik untuk siapa pun (tribunnews.com, 1/11/2016).

Majelis Ulama Indonesia (MUI) tidak melarang umat Islam untuk mengikuti demonstrasi pada 4 November ini kendati lembaga ini tetap mengingatkan agar unjuk rasa dilakukan dengan tertib dan damai. Meski demikian, menurut Maruf, MUI tidak menganjurkan umat Islam menggelar demontrasi karena sejatinya proses hukum dugaan penistaan agama dengan terlapor Basuki Tjahaja Purnama sedang berlangsung. Dia menyerahkan kasus dugaan penistaan agama tersebut kepada aparat yang berwenang. MUI mengharapkan proses hukum berjalan dengan baik sesuai peraturan dan tidak ada intervensi dari mana pun, termasuk dari pemerintah. Singkat kata, Maruf mengatakan jika proses hukum sedang berlangsung di Kepolisian maka unjuk rasa sejatinya belum diperlukan. Ma'ruf menegaskan sikap MUI jelas, berdasarkan kajian tim internal memang ada indikasi penistaan agama. Kajian yang dilakukan oleh MUI itu dilakukan secara hati-hati dan seksama. MUI, kata Maruf, bersikap netral dalam Pilkada DKI Jakarta. Dengan begitu, segala pernyataan MUI yang menyasar Ahok terkait dugaan penistaan agama murni karena adanya kesalahan atau tidak terkait dengan sikap politik untuk menjegal salah satu calon kepala daerah (tribunjateng.com, 2/11/2016).

Pimpinan Wilayah (PW) Muhammadiyah DKI Jakarta Syahrul Hasan, menginginkan adanya perubahan kepemimpinan di ibu kota. Hal itu diimplementasikan dengan mengeluarkan kriteria calon gubernur yang layak dipilih warga Muhammadiyah dan juga masyarakat Jakarta secara keseluruhan. Sebagai organisasi keagamaan, Muhammadiyah memang tidak masuk dalam politik praktis. Namun kami (PW Muhammadiyah DKI) diwajibkan mengeluarkan kriteria pemimpin untuk menjadi panduan masyarakat dalam memilih. Kriteria pemimpin yang kami keluarkan tersebut akan terus kami sosialisasikan kepada masyarakat. Syahrul mengakui sosok Ahok memang tidak masuk dalam kriteria yang ada. Sebab menurut penilaian Muhammadiyah DKI, kepemimpinan Ahok sejauh ini selalu mengedepankan kekerasan dan mengesampingkan nilai kemanusiaan. Syahrul mencontohkan, dalam hal penggusuran warga miskin di sejumlah wilayah, selalu saja jatuh korban. Hal itu terjadi lantaran didahulukan penggunaan aparat dari pada cara persuasif (jpnn.com, 10/10/2016).

Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) DKI Jakarta terus memantau perkembangan politik di ibu kota. Namun satu hal yang sudah dipastikan oleh NU, yakni tidak akan memberikan dukungannya kepada calon gubernur yang mengedepankan kekerasan serta arogan dan semena-mena terhadap rakyat miskin. Demikian disampaikan Wakil Majelis Syuro PWNU DKI Jakarta KH Yusuf Aman belum lama ini. Menurut dia, pola kepemimpinan yang dijalankan begitu gaduh dan jauh dari kesejukan. Apalagi Pemprov DKI Jakarta juga terbelit banyak masalah hukum. Mulai dari kasus UPS, kasus RS Sumber Waras, hingga Reklamasi Jakarta Utara. Menurut Yusuf, situasi politik di Jakarta saat ini memang butuh perhatian semua pihak. Karenanya, Yusuf meminta agar kedepan masyarakat DKI bersatu padu dan sama-sama berfikir bagaimana membangun Jakarta kedepan yang lebih baik. Masyarakat harus dibantu dibukakan hatinya, agar mengetahui kondisi pemerintahan yang seutuhnya. Bukan hanya sepotong-sepotong. Masyarakat harus mulai diajak untuk berfikir kritis. NU tidak akan masuk ke wilayah politik praktis. Karena memang secara struktural NU tidak boleh berpolitik, tapi secara kultural suara arus bawah di NU adalah gambaran nyatasemua elemen  masyarakat tidak boleh lagi bercerai-berai (jpnn.com, 10/10/2016).

Fakta yang terjadi di lapangan, selepas berdemo di depan Istana Negara, sebagian para peserta demo 4 November memang berjalan beriringan menuju Kompleks DPR/MPR RI menjelang tengah malam. Mereka berbaris memanjang sekitar 6 kilometer. Sesampai di gerbang DPR, rombongan yang dipimmpin Imam Besar FPI Habib Rizieq Shihab, ditemui sejumlah politisi. Di antaranya Zulkifli Hasan (Ketua MPR), Aboebakar Al-Habsy (anggota Komisi III dari Fraksi PKS), Sufmi Dasco Ahmad (anggota Komisi III Fraksi Gerindra), Hanafi Rais (Wakil Ketua Komisi I DPR dari PAN) dan Mulfachri Harahap (Ketua Fraksi PAN). Zulkifli sempat terlibat perbincangan serius dengan Habib Rizieq dan Ali Mochtar Ngabalin. Berbeda dengan pernyataan sehari menjelang aksi, Zulkifli justru meminta para demonstran tak istirahat atau bermalam di kompleks DPR/MPR RI. Apalagi sebelumnya, perwakilan pemerintah yang dipimpin Wapres JK sudah menerima perwakilan demonstran di Istana Negara. Namun, pendapatnya berseberangan dengan Aboebakar yang justru meminta massa demonstran diizinkan masuk ke Kompleks DPR RI. Ngabalin juga ikut merayu Zulkifli. Ini memang haknya, harus kita lurusin Bang Zul (Zulkifli Hasan). Jangan begitulah, ucap Ngabalin. Namun Zulkifli tak mau mengubah sikap (redaksiindonesia.com, 9/10/2016).

D.Tinjauan Pancasila

Sebagai dasar Negara Pancasila yang digunakan untuk mengatur seluruh tatanan kehidupan bangsa dan juga negara Indonesia, segala sesuatu yang hubungannya dengan pelaksanaan sistem ketatanegaraan Negara kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang wajib atau harus berdasarkan Pancasila. Demo yang terjadi di Jakarta pada tanggal 4 November 2016 erat kaitannya dengan Pancasila. Statement Ahok yang dianggap menistakan agama Islam dengan membawa ayat Al-Qur’an telah melanggar nilai-nilai dalam Pancasila.

Segala hal mengenai kenegaraan harus sesuai dengan hakikat Tuhan. Hakikat Tuhan sebagai suatu realitas tertinggi dapat dicapai melalui berbagai aspek. Moralitas merupakan salah satu aspek untuk mendekati hakikat Tuhan dalam hal kenegaraan. Tidak ada yang salah mengenai tuntutan umat muslim terhadap pengusutan statement Ahok pada demo 4 November 2016. Sikap Ahok dirasa tidak etis karna melampaui batas apa yang seharusnya dilakukan.

Sila Ketuhanan Yang Maha Esa bersinggungan dengan nilai-nilai agama. Demo 4 November 2016 yang diikuti oleh sejumlah umat muslim meminta Ahok untuk diberi sanksi atas statement yang telah diucapkan. Dalam hal ini, Ahok yang merupakan seorang penganut agama Kristen dianggap tidak berhak untuk membicarakan ayat-ayat suci dari kitab selain agamanya. Sikap Ahok  yang diduga menistakan agama sangat berhubungan dengan nilai ketuhanan. Pancasila yang menjadi dasar negara sudah menegaskan bahwa kesadaran akan ketuhanan telah menjadi esensi terdalam dari Bangsa Indonesia. Dengan demikian, apabila ada seseorang yang telah menistakan agama baik secara sengaja ataupun tidak sengaja, orang tersebut telah melanggar nilai ketuhanan.

Sila Persatuan Indonesia adalah persatuan kemanusiaan yang berketuhanan. Dalam peristiwa demo 4 November 2016, tidak dapat dihindari bahwa demo sebagai alat untuk memecah persatuan bangsa Indonesia. Terdapat beberapa indikasi bahwa demo bertujuan untuk mengganti ideologi Indonesia menjadi ideologi yang berlandaskan pada satu agama tertentu. Padahal, sudah sangat jelas bahwa sila Persatuan Indonesia adalah pengikat dari bangsa Indonesia yang terdiri dari berbagai macam agama.

Semangat Bhineka Tunggal Ika merupakan suatu keseimbangan. Bangsa Indonesia yang memiliki beragam suku, adat, tradisi, agama tidak serta merta harmonis tanpa ada satu landasan yang mengikat. Penerapan sila Persatuan Indonesia melalui semangat persatuan dan kesadaran akan keragaman merupakan kewajiban yang harus dihayati oleh seluruh rakyat Indonesia. Ketika ada suatu kelompok agama yang ingin mengganti ideologi Pancasila dengan ideologi teologi, maka tidak ada lagi semangat keberagaman dari bangsa Indonesia. Kesadaran nilai keragaman atau ke-Bhineka-an menjadi point penting dalam meredam konflik.

Demo 4 November 2016 yang telah dilalui berjalan dengan damai. Umat muslim yang menuntut Ahok atas penistaan agama dilakukan dengan tidak anarki. Namun, yang terjadi pada akhir demo (lewat dari pukul 18.00) ialah terdapat provokasi-provokasi yang menyebabkan kericuhan. Jika memang provokasi yang dilakukan adalah sengaja untuk membuat konflik, maka jelas bahwa demo dijadikan media. Permasalahan yang sesungguhnya ialah apakah konflik yang dibuat atas dasar dugaan penistaan agama oleh Ahok ataukah ada maksud lain dari konflik tersebut.

Q.S al-Maidah: 51 tersebut tidak ada hubungan dengan pemilihan kepala negara atau kepala daerah. Kepala negara atau kepala daerah sebaiknya orang yang mampu berbuat adil tanpa memandang suku dan agama. Hal ini relevan dengan nilai ketuhanan dalam Pancasila. Tuhan diyakini sebagai entitas tertinggi yang diyakini dalam kehidupan bernegara.

Demo 4 November 2016 merupakan demonstrasi dalam menyampaikan aspirasi. Hal ini dilindungi Undang-Undang mengingat negara Indonesia merupakan negara demokrasi. Menyampaikan pendapat di muka umum adalah hak asasi manusia yang dijamin oleh negara. Menyampaikan aspirasi merupakan hak setiap warga. Demo damai yang dilakukan atas dasar tuntutan umat muslim kepada Ahok yang dianggap menistakan agama dan melanggar hukum yang berlaku di Indonesia.

Tinjauan dimensi hukum dalam demo 4 November 2016 berkaitan dengan nilai keadilan dalam Pancasila. Adil dalam pengertian ini ialah ketika umat muslim menuntut Ahok dengan menggunakan pasal 156a KUHP, dan dinyatakan bersalah maka ia harus menjalankan sanksi sesuai dengan pasal tersebut. Namun, keadilan juga harus dijalankan ketika apa yang dituntut oleh umat muslim kepada Ahok tidak termasuk dalam penistaan agama. Nilai keadilan harus dijunjung tinggi.

Demo 4 November 2016 diinisasi sejumlah ormas keagamaan untuk mendesak proses hukum terhadap Ahok yang dituduh menista agama. Demo tersebut merupakan gerakan moral anak bangsa yang mengekspresikan pandangan berdasarkan keyakinannya yang terusik. Gerakan esok adalah murni penyampaian pendapat dan pengawalan penegakan hukum yang dibolehkan dalam peraturan petundang-undangan sebagai bentuk kemerdekaan berserikat dan mengeluarkan pendapat, karenanya seluruh pengawalan keamanannya hendaknya dilakukan secara simpatik dan persuasif. Kedua, ia mengimbau seluruh pihak, khususnya para demonstran dan aparat keamanan agar aksi tersebut dapat berlangsung tertib, aman dan damai serta tak mengganggu kepentingan umum. Islam itu cinta kedamaian dan damai itu indah, maka pertunjukkanlah Islam rahmah, sambungnya. Romy juga mengingatkan agar seluruh pihak tak terpancing terhadap kemungkinan adanya pihak ketiga yang memanfaatkan aksi tersebut untuk tindakan yang memancing SARA, provokasi, intimidasi, maupun subversif baik dari dalam maupun luar. Seluruh tuntutan pada aksi tersebut juga diharapkan ditindaklanjuti oleh Polri secara profesional, akuntabel, transparan dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Romy juga mengimbau agar demonstran tak membawa asesoris parpol dan kontestan Pilkada DKI 2017 pada aksi besok. Sebagai parpol Islam terbesar di DKI Jakarta yang menjadi pengusung kontestan pilkada, PPP menyerukan agar seluruh pihak mampu menjaga kemurnian aksi besok dari politisasi yang bisa saja dikait-kaitkan dengan pilkada DKI 2017.

Kebebasan dalam menyampaikan pendapat dimuka umum dijamin dalam undang-undang di Indonesia, kebebasan dalam menyuarakan hal-hal yang dianggap benar haruslah dapat dipertanggungjawabkan dan tidak melanggar hak-hak orang lain. Demonstrasi yang dilakukan oleh pemeluk agama Islam pada 4 November 2016 di Jakarta sebagai bentuk protes terhadap pernyataan Ahok yang dianggap menistakan agama dengan menyebutkan ayat suci dalam Al-Qur’an. Respon dari berbagai lapisan masyarakat menunjukkan kepedulian dan rasa terluka ketika apa yang diyakininya sebagai kebenaran dinodai oleh sekelompok atau orang tertentu. Tentu dalam hal apapun penistaan terhadap agama tidak bisa dibenarkan baik secara moral maupun secara hukum. Ketua PBNU Said Aqil Siraj, menyatakan bahwa memang benar kalau pernyataan Ahok melukai umat muslim, pernyataan yang disampaikan dipulau seribu sudah bukan kapasitasnya sebagai Gubernur DKI. Pernyataan itu sudah diluar kompetensinya terlebih lagi yang mengeluarkan pendapat tersebut dari nonmuslim (Kompastv.com, 14/11/2016). Proses hukum terhadap kasus penistaan agama oleh Ahok harus ditegaskan dan pihak berwajib harus adil dalam menangani kasus tersebut. Pemerintah sudah memberikan pernyataan akan mengusut tuntas kasus tersebut dalam tempo yang secepatnya.

Disisi lain, demonstrasi pada 4 November 2016 telah memberikan warna tersendiri dalam perpolitikan di Indonesia, warna tersebut tidak bisa terlepas dari aspek-aspek yang melatar belakangi rangkaian-rangkaian yang terjadi sebelum demonstrasi itu dilakukan. Mengingat, Ahok merupakan petahana dan cagub DKI 2017. Reaksi dari ormas, tokoh masyarakat, partai politik dan masyarakat tidak terdapat keseragaman dalam menanggapi dugaan penistaan agama yang dilakukan Ahok, ada yang menolak dan ada yang mendukung Ahok. Umat muslim yang melakukan demonstrasi menuntut proses hukum terhadap Ahok tidak semuanya berlatarkan pada reaksi terhadap Surat Al-Maidah: 51, hal tersebut bisa terlihat dari ormas-ormas dan tokoh politik yang hadir disana. Sebelum dugaan penistaan itu terjadi, golongan yang menolak Ahok merupakan golongan yang sama saat menentang pengangkatan Ahok menjadi Gubernur, menjadi lawan di Pilpres 2015 dan berlanjut ke Pilkada DKI 2017. Reaksi penolakan tersebut terlihat dari beberapa argumen yang mereka lontarkan, Partai Gerindra secara terang-terangan menolak pelantikan ahok sebagai Gubernur pada tahun 2014, alasan penolakan tersebut adalah sikap Ahok yang keluar dari partai Gerindra. Langkah Partai Gerindra diikuti oleh PPP, PKB, PAN dan PKS, tak hanya disitu saja penolakan tersebut berlanjut pada tatanan ormas yang menjadi binaan partai dan termasuk juga FPI (Ramadhany,2016:158).

Pelaksanaan Pilkada secara langsung dan Kepala Daerah yang terpilih berasal dari salahsatu partai besar, maka hubungan antara Kepala daerah dan DPRD akan cendrung berlangsung secara dinamis. Memunculkan “cheks and balances’, yaitu adanya posisi yang sama kuat antara Kepala Daerah dan DPRD. Disatu sisi, terdapat kepala Daerah yang dipilih secara langsung oleh rakyat dan didukung langsung oleh salahsatu kekuatan politik di DPRD, namun di DPRD juga terdapat kekuatan-kekuatan yang berseberangan dengan Kepala Daerah terpilih. Kepala Daerah yang terpilih tidak begitu saja sependapat dengan DPRD guna meloloskan kebijakan-kebijakan daerah yang dibuatnya. Hal ini terjadi karena kekuatan-kekuatan politik yang menjadi saingannya itu akan berusaha kritis, bahkan bisa menempatkan diri sebagai kekuatan oposisi terhadap Kepala Daerah. Memang, DPRD sudah tidak lagi memiliki otoritas untuk menjatuhkan Kepala Daerah melalui LPJ. Tetapi mengingat kebijakan-kebijakan daerah harus melalui pembahasan dengan DPRD (Marijan, 206:2015). Beberapa kebijakan yang diambil oleh Ahok selaku Gubernur DKI jakarta mendapat protes keras dari beberapa anggota DPRD, protes juga dilayangkan oleh ormas-ormas yang ada di DKI. Secara terang benderang beberapa ormas menyuarakan penolakan gaya kepemimpinan Ahok yang dianggap arogan, kasar dan tidak berpihak pada rakyat. Penolakan dari ormas tersebut termasuk FPI mendapat dukungan secara moril dan politis dari anggota DPRD yang berseberangan dengan Ahok. Penolakan terhadap Ahok yang dimotori oleh FPI sudah berlangsung sebelum Pilkada DKI 2012. FPI selalu berusaha mencari celah untuk menjegal dan melawan Ahok, berjuang dalam ranah politis melalui kolega-koleganya yang ada di DPRD hingga menurunkan massa dijalanan merupakan pemandangan yang sering dilihat oleh masyarakat Indonesia di media-media yang ada. Mereka sepakat Ahok tak layak menjadi Pemimpin Jakarta karena minoritas tak layak memimpin mayoritas. Kebijakan Ahok sesudah menjabat pemimpin DKI dianggap telah mendiskriminasi umat Islam dan FPI khawatir dengan gaya kepeminpinan Ahok yang terlalu arogan, kasar, dan tak bermoral akan merusak DKI (Ramadhany, 2016:101).

Gerakan  4 November 2016 merupakan puncak penolakan terhadap Ahok beserta seluruh kontroversi yang melekat pada dirinya dan diduga menjadi media bagi kelompok-kelompok yang berseberangan dengan Ahok dan sekaligus menjadi media penolakan terhadap pemerintahan Jokowi. Dugaan tersebut mungkin saja benar, mengingat pernyataan-pernyataan yang dilancarkan oleh tokoh-tokoh masyarakat dan tokoh-tokoh agama yang selalu berseberangan dengan kebijakan pemerintah. Organisasi masyarakat yang berbasis agama yang berusaha melupakan Pancasila seperti Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), Front Pembela Islam (FPI), meskipun FPI tidak menolak Pancasila, tetapi mereka berkeyakinan bahwa demokrasi berbasis konsensus seperti yang diatur dalam sila keempat Pancasila telah disalah tafsirkan oleh kelompok nasional. Habib Riziek misalnya mengatakan bahwa melaksanakan demokrasi liberal ala barat yang sekarang diterapkan di Indonesia jauh lebih haram daripada memakan daging babi. Rizieq lebih jauh mengatakan bahwa umat Islam yang melaksanakan demokrasi liberal ini bisa menjadi murtad karena mengingkari hukum Islam (Khanif, 2016:170). Melihat realitas yang terjadi di Indonesia,  Pancasila sebagai ideologi perekat  nasional bangsa seakan kehilangan ruhnya dan tidak mempunyai taring sama sekali. Pancasila tidak hanya sebagai ideologi dan sumber hukum melainkan juga sejarah panjang pemikiran para pendiri bangsa dalam menetapkan Pancasila sebagai konsensus nasional untuk menyatukan Indonesia. Pancasila harus dijadikan inspirasi dalam berkehidupan hukum, politik dan kehidupan sosial, dalam kasus penistaan agama seharusnya pemerintah merespon dengan cepat karena kejadian tersebut merupakan hal yang sensitif. Ketika Pancasila menjadi landasan dalam melakukan tindakan berupa demonstrasi maka hasilnya adalah kepercayaan penuh terhadap proses hukum yang sedang berjalan.

Setelah terjadinya demonstrasi 4 November 2016, dapat dilihat beberapa unsur skenario sebagai tujuan dari gerakan tersebut. Pertama, gerakan tersebut merupakan kegiatan yang murni keluar dari sanubari umat muslim sebagai bentuk protes terhadap pemerintah bagaimana telah terjadi dugaan penistaan agama yang memang tidak pantas untuk diucapkan oleh Gubernur dan harus diproses secara hukum. Umat muslim berjumlah ratusan ribu dipimpin oleh ulama dan ustad menyampaikan isi hatinya dengan damai. Demo ini terusik dan berakhir rusuh oleh unsur yang selanjutnya, unsur kedua; mereka yang menyatakan pendapat dengan mencari celah atau media sebagai lahan peperangan melawan Ahok. Kelompok ini melancarkan penolakan terhadap Ahok dimulai sejak 2014, tujuannya adalah menggagalkan pencalonan Ahok sebagai Cagub pada Pilkada DKI 2017, hal-hal yang berhubungan dengan Ahok selalu mendapat kritik tajam dan berujung penolakan. Dimotori oleh tokoh-tokoh yang menjagokan cagub dan cawagub dari pasangan diluar Ahok dan Jarot. Unsur ketiga hadir dari kalangan elit politik nasional, mereka merupakan barisan pendukung Prabowo pada Pilpres 2014. Demonstrasi menjadi media untuk menyerang pemerintah saat ini yang dianggap melindungi penista agama dan kegagalan pemerintah dalam menjaga kerukunan antar umat beragama, disisi lain barisan ini merupakan oposisi dalam pemerintahan yang kerap berseberangan pendapat terhadap pemerintahan Jokowi, sasarannya sangan jelas, menurunkan Jokowi dari tampuk kepemimpinan. Unsur keempat adalah ormas-ormas yang anti Pancasila, menganggap pemerintah DKI dan pemerintah Indonesia adalah haram karena menjalankan sistem demokrasi. Dipelopori oleh FPI yang dalam berbagai kebijakan pemerintah selalu menjadi barisan terdepan untuk menolak, terlebih lagi kebijakan daerah DKI Jakarta yang jelas-jelas sangat dibenci oleh FPI. Unsur kelima adalah kelompok yang memanfaatkan ketulusan umat muslim dengan menyisipkan paham-paham radikal dan ingin menjadikan Indonesia layaknya ‘Timurtengah’, ingin menggantikan ideologi Pancasila dan merubah haluan negara, menjadikan Indonesia dibawah kekuasaan agama tertentu.

KEPUSTAKAAN
AL-Qur’an dan Terjemahnya
Al-Qur’an dan Terjemahnya. Departemen Agama RI, 2008, CV. Penerbit Diponegoro, Bandung.
Kitab-Kitab Tafsir Klasik dan Kontemporer
Al-Qurtubi, Syaikh Imam., 2008, Al-Jami’ li Akham Al-Qur’an Jilid 6, terj, Ahmad Khotib, Pustaka Azam, Jakarta.
Al-Razi, al-Fakhr., 1985, Mafatih al-Ghaib. Jilid 7, Dar al-Fikr, Beirut.
Amrullah, Abdulmalik Abdulkarim., 2007, Tafsir al-Azhar, Pustaka Nasional Pte Ltd, Singapura.

At-Thabari, Muhammad Ibn Jarir., 1994. Jami’ al-Bayan Jilid 8, Dar al-Fikr, Beirut.
Dirdjosisworo, Soedjono, 2014, Pengantar Ilmu Hukum, Divisi Buku Perguruan Tinggi, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta.
Jazairi, Syaikh Abu Bakar Jabir., 2007, Tafsir al-Qur’an al-Aisar Jilid 2, Darus Sunnah Press, Jakarta.
Zuhaili, Wahbah., 1418 H, Al-Tafsir al-Munir li al-Zuhaili Jilid 7, Dar al-Fikr al-Mu’ashir, Damaskus.
Shihab, Quraish, 2012. Al-Qur’an dan Maknanya, Lentera Hati, Jakarta.
Shihab, Quraish., 2007, Tafsir al-Musbah Jilid 3, Lentera Hati, Jakarta.
Buku-Buku
Kaelan, 2002, Pendidikan Pancasila, Penerbit Paradigma, Yogyakarta.
Khanif. Al, dkk, 2016, Pancasila Sebagai Realitas; Percikan Pemikiran tentang Pancasila dan Isu-isu Kontemporer di Indonesia, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
Marijan. Kacunng, 2015, Sistem Politik indonesia; Konsolidasi Demokrasi Pasca –Orde Baru, Pernada Media Group, Jakarta.
Notonagoro, 1971, Pengertian Dasar bagi Implementasi Pancasila untuk ABRI, Departemen Pertahanan dan Keamanan, Jakarta.
Notonagoro, 1980, Beberapa Hal Mengenai Falsafah Pancasila, cet. 9, Pantjoran Tujuh, Jakarta.
Notonagoro, 1987, Pancasila Secara Ilmiah Populer, cet. 9, Bumi Aksara, Jakarta.
Ramadhany, Cahaya. 2016, Jakarta Baru Kita Mulai; Mewujudkan Ibu Kota Bermartabat dan Manusiawi, Galang Press, Yogyakarta.
Soeprapto, Sri, 2013, Konsep Inventif Etika Pancasila Berdasarkan Filsafat Pancasila Notonagoro, UNY Press, Yogyakarta.
Subhan, M. dkk. 2013. Tafsir Maqashidi Kajian Tematik Maqashid Al-Syariah, Lirboyo Press, Kediri.
Suseno, Franz Magnis, 2001, Etika Politik. Prinsip-prinsip Moral Kenegaraan Modern, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Undang-Undang
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
Sumber Internet
https://www.arrahmah.com/news/2014/09/24/fpi-kemukakan-lima-alasan-tolak-ahok.html  diakses pada 11 November 2016.
http://www.bbc.com/indonesia/indonesia-37893315 diakses pada 11 November 2016.
http://news.detik.com/berita/3287097/segudang-alasan-pkb-tolak-ahok diakses pada 11 November 2016.
http://www.jawapos.com/read/2016/08/29/47605/demokrat-tolak-ahok-ruhut-ada-pembisik-          sby/3 diakses pada 11 November 2016.
http://jateng.tribunnews.com/2016/11/02/mui-tak-larang-umat-islam-ikut-demo-4-november          diakses pada 11 November 2016.
http://metro.sindonews.com/read/1152562/170/demo-4-november-demokrat-pinta-kader-tak-gunakan-atribut-partai-1478184200 diakses pada 11 November 2016.
http://megapolitan.kompas.com/read/2014/09/10/15110301/Ahok.Saya.Sudah.Resmi.Keluar.dari.Gerindra diakses pada 11 November 2016.
http://megapolitan.kompas.com/read/2016/09/21/20201121/gerindra.ingin.head.to.head.lawan.ahok.ada.skenario.sandiaga.-yusril diakses pada 11 November 2016.
https://www.merdeka.com/politik/tak-anggap-ahok-fpi-sebut-pilgub-dki-cuma-pertarungan-agus-anies.html diakses pada 11 November 2016.