FENOMENA “DEMO 411”
DALAM TINJAUAN POLITIK, AGAMA DAN PANCASILA
Compiler: Fikri Farikhin,M.Pd.I
PERINGATAN UNTUK PEMBACA:
Mari kita renungi dengan seksama. Jika
memang tidak setuju dengan pendapat ini, mohon untuk tidak saling menyalahkan.
semua punya hak untuk menyampaikan pemikirannya. bukan ingin menang sendiri.
Jika para pembaca merasa pendapat anda sendirilah yang benar, maka tak perlu
membaca pendapat orang lain, karena hal itu bukan menambah ilmu anda, tapi anda
hanya ingin bahwa persepesi anda itu diikuti oleh orang lain juga. dan hal itu
bukan karakter orang-orang akademisi, para intelektual. mohon dengan sangat untuk
tidak terjadi pertengkaran antara kita. ok. semoga diskusi dan renungan ini
membawa barakah dan manfaat untuk kita semua amin dan selamat membaca
A.Pendahuluan
Perbincangan mengenai Surat al-Maidah
ayat 51 telah menjadi begitu populer dalam beberapa hari terakhir. Selain
dikutip karena mengandung ayat yang sering dipahami sebagai larangan memilih
pemimpin non-Muslim, Surat al-Maidah ayat 51 menjadi perbincangan hangat
terutama karena disebut-sebut oleh Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama
(Ahok) yang juga calon gubernur dalam Pemilihan Kepala Daerah Jakarta dalam
pertemuannya dengan masyarakat di Kepulawan Seribu baru-baru ini. Banyak yang
berpendapat bahwa ucapan Ahok tentang Surat al-Maidah yang intinya berbunyi
“Dibohongin pake al-Maidah 51” dianggap telah dengan sengaja melakukan
penistaan terhadap agama, atas dasar dugaan penistaan agama inilah yang
mengakibatkan terjadinya peristiwa demo pada 04 November 2016 beberapa waktu
yang lalu.
Dapat dikatakan bahwa wacana mengenai
penodaan agama merupakan wacana yang masih terus menimbulkan polemik. Hal ini
terjadi tidak hanya dalam ranah hukum positif, tetapi juga dalam ranah
pemikiran keislaman secara luas. Apakah negara berhak memutuskan bahwa
seseorang atau kelompok tertentu telah menodai agama? Bukankah yang berhak
menentukan seseorang menodai agama hanya Tuhan?, pertanyan-pertanyaan semacam
ini sering muncul dalam hal perbincangan mengenai masalah siapa yang paling
berhak dan memiliki wewenang dalam memutuskan perkara hukum terkait dengan kasus
seputar agama.
Sebenarnya ada dua undang-undang yang
bisa dijadikan pintu masuk untuk menyeret seseorang atau kelompok tertentu
sebagai penoda agama, yakni Undang-Undang No. 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan
Penyalahgunaan dan Pasal 156a Kitab Undang-Undang Hukum Pidana tentang Penodaan
Agama. Terkait dengan pidato Ahok di Kepulauan Seribu, pasal yang bisa menjerat
Ahok adalah Pasal 156a KUHP, yang berbunyi “Dipidana dengan penjara
selama-lamanya 5 tahun barang siapa dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan
atau melakukan perbuatan: yang pada pokoknya bersifat permusuhan,
penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia”.
Terkait secara khusus dengan pasal di
atas, hal yang perlu digarisbawahi adalah terkait kata “dengan sengaja” dan
“mengeluarkan perasaan atau perbuatan”. Dengan memahami secara cermat terkait
landasan hukum ini, maka untuk membedah pernyataan Ahok di Kepulauan Seribu
haruslah dengan menggunakan sikap kepala dingin dan hati yang jernih. Hal ini
penting dilakukan agar cara pandang terhadap kasus ini tidak hanya
berputar-putar disekitar masalah itu saja, tetapi juga sebisa mungkin dapat
menemukan solusi dan keputusan hukum yang tepat.
Ada beberapa analis yang berpendapat
bahwa ungkapan Ahok di atas bukan merupakan sesuatu yang diucapkan begitu saja
diruang hampa, melainkan berangkat dari fakta di lapangan. Sejak ikut dalam
pilkada sebagai calon Bupati Belitung Timur dan terpilih sebagai Bupati
Belitung Timur, Ahok mendapatkan pihak-pihak lawan politik yang kerapkali
menggunakan surat al-Maidah ayat 51 sebagai bahan kampanye untuk menolak
pemimpin non-Muslim. Begitu pula sejak dilantik sebagai Gubernur DKI Jakarta
hingga menjelang Pilkada DKI 2017, tidak sedikit pihak yang menolak pemimpin
non-Muslim dengan menggunakan ayat tersebut (Misrawi, Kompas.com).
Terkait dengan konteks permasalahan di
atas, hipotesis sementara yang mungkin dilakukan adalah bahwa paling tidak bisa
dipahami bahwa makna yang tersirat dalam pidatonya di Kepulauan Seribu, adalah
Ahok justru ingin mengajak masyarakat dihadapannya untuk menjauhi politisasi
al-Qur’an. Ahok ingin mengatakan, tidak masalah jika orang-orang tidak
memilihnya dalam pilkada nanti, tapi jangan politisasi ayat-ayat suci
al-Qur’an. Jika hipotesis ini benar, maka peristiwa demo 04 November 2016 yang
dilakukan oleh sebagian umat Islam Indonesia guna mencari keadilan atas
tindakan penistaan agama yang dilakukan oleh Ahok, adalah sesuatu yang bisa
dikatakan “salah paham” terhadap permasalahan yang sesungguhnya.
Namun demikian, terlepas dari konteks di
atas, perlu dipahami bahwa demo 04 November 2016 beberapa hari yang lalu
merupakan suatu peristiwa yang sangat kompleks yang tidak hanya identik dengan
permasalahan agama dan politisasi al-Qur’an. Banyak pihak yang berpendapat bahwa
peristiwa itu juga ada kaitannya dengan tindakan beberapa aktor politik yang
menunggangi demonstrasi tersebut (Puspitasati, Tempo.com).
Tulisan ini secara umum ingin mencoba
menelusuri dan menggali persoalan terkait dengan peristiwa demo 04 Novermber 2016
dan faktor-faktor apa saja yang menimbulkan polemik itu. Namun, secara khusus
tulisan ini ingin meninjau lebih jauh persoalan demo 04 November 2016 dari
sudut pandang Agama, Politik, Pancasila dan implikasi apa saja yang berdampak
pada masalah bangsa dan negara.
B. Perspektif Agama: Tafsir atas Q.S.
al-Maidah 51 dan Hukum Menistakan Agama dalam Perspektif Islam
1.Penafsiran Kontekstual atas Q.S.
al-Maidah: 51
Secara literal, Q.S. al-Maidah 51 ini
berisi tentang larangan umat Islam mengangkat kaum Nasrani dan Yahudi sebagai
awliya’. Pertanyaannya adalah apa arti kata tersebut? Bagaimana konteks
historisnya? Dan apa ide moral yang mungkin
dikandung oleh ayat tersebut? Sebelum menjawab pertanyaan-pertanyaan
ini, perlu dikemukakan terlebih dahulu bahwa untuk memahami Q.S. al-Maidah 51,
seseorang harus memperhatikan aspek bahasa, konteks historis, dan ide moral
yang terkandung di dalamnya.
Terkait dengan aspek bahasa, sebenarnya
ayat tersebut mengandung beberapa kosa kata yang harus dianalisis secara
cermat. Namun, tulisan singkat ini tidak dimaksudkan untuk membahas semuanya.
Hanya kata awliya’ yang akan diterangkan di sini. Kata tersebut diterjemahkan
oleh sebagian di Indonesia dengan ‘pemimpin-pemimpin’. Hal ini bisa dilihat,
misalnya, dalam kitab tafsir al-Azhar (Amrullah, 2007: 1760).
Meskipun demikian, apabila melihat
kitab-kitab tafsir klasik, maka akan mendapati keterangan yang cukup berbeda
dengan sebagian terjemahan Indonesia tersebut. Al-Thabari (1994: 507)
menafsirkan kata awliya’ dengan anshar wa hulafa’ (penolong-penolong dan aliansi-aliansi
atau teman-teman dekat. Terjemahan yang mendekati dengan penjelasan al-Thabari
adalah terjemahan Shihab (2012: 117) atas kata tersebut, yakni ‘para wali’
(teman-teman dekat).
Singkat kata, baik al-Thabari dan Shihab
tidak menafsirkan kata tersebut dengan pemimpin-pemimpin pemerintahan.
Sementara itu, penulis telah mencermati bahwa di dalam seluruh kandungan
al-Qur’an, kata awliya’ terdapat di dalam sembilan ayat yang tersebar di lima
surat, termasuk surat al-Maidah, yang memiliki beragam arti dan penerjemahannya
sesuai dengan konteksnya. Menurut al-Qur’an versi Departemen Agama RI yang
penulis miliki, rincian kata awliya’ sekaligus terjemahannya dapat dilihat
sebagai berikut:
Al-Maidah ayat 51 : Teman
setia
Al-Maidah ayat 57 : Pemimpin
Al-Maidah ayat 81 : Teman
setia
An-Nisa’ ayat 98 :
Teman-teman (mu)
An-Nisa’ ayat 139 : Pemimpin
An-Nisa’ ayat 144 : Pemimpin
At-Taubat ayat 23 :
Pelindung
Al-Mumtahanah ayat 1: Teman-teman setia
Al-Imran ayat 28 :
Pemimpin
Dengan demikian, kata awliya’ yang
terkandung dalam berbagai ayat di atas, meski memiliki arti yang searah, namun
terdapat berbagai macam penekanan dalam menerjemahkannya sesuai dengan konteks
bahasa dan sosial historis yang melingkupinya.
Dari segi konteks historis (asbabun
nuzul), diriwayatkan bahwa sebab turunnya ayat ini adalah berkenaan dengan
Ubadah bin Shamit Al-Anshary dan Abdullah bin Ubay. Masing-masing mereka
mempunyai mitra dengan dengan orang-orang Yahudi yang ada di Madinah. setelah
Rasulullah Saw. memperoleh kemenangan dalam perang Badar, maka semakin
berkobarlah kebencian dan api dendam di dalam hari orang-orang Yahudi terhadap
orang-orang Islam, lalu mengumumkan secara terbuka permusuhannya terhadap
mereka, hal ini membuat salah seorang di antara mereka, yaitu Ubadah bin Shamit
melepaskan diri dari teman-teman mereka dan ikhlas menjadikan Allah, Rasul-Nya,
serta orang-orang Islam sebagai pemimpin dan pelindungnya. Sedangkan Abdullah
bin Ubay menolak mengikuti jejak Ubadah dan lebih memilih untuk tetap bergabung
dengan kelompok Yahudi dan berdiri di belakang mereka (Jazairi, 2007: 682).
Maka berkenaan dengan peristiwa yang
terjadi di atas turunlah Q.S. al-Maidah: 51 yang artinya:
“Wahai orang-orang yang beriman!
Janganlah kamu menjadikan orang Yahudi dan Nasrani sebagai teman setia (mu);
mereka satu sama lain saling melindungi. Barang siapa di antara kamu yang
menjadikan mereka teman setia, maka sesungguhnya dia termasuk golongan mereka.
Sungguh, Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim”
Menurut pendapat yang lain, ayat ini
diturunkan tentang Abu Lubabah yang diutus Rasulullah Saw. kepada Bani
Quraidhah yang merusak perjanjian dukungan dan perdamaian dengan Rasulullah dan
umatnya. Keterangan ini diriwayatkan dari Ikrimah. Sementara itu, dalam riwayat
yang lain lagi disebutkan bahwa, As-Suddi berkata, “Ayat ini diturunkan tentang
kisah perang Uhud ketika kaum muslim dihinggapi perasaan takut, hingga
sekelompok orang dari mereka berniat untuk menjadikan orang-orang Yahudi dan
Nashrani sebagai pemimpin” (Al-Qurthubi, 2008: 518).
Terlepas dari variasi riwayat-riwayat
tersebut di atas, bisa digarisbahwahi ayat tersebut turun dalam konteks
peperangan, di mana kehati-hatian dalam strategi perang harus selalu
diperhatikan, sehingga tidak boleh meminta bantuan dari pihak-pihak lain yang
belum jelas komitmennya. Dengan kata lain, konteks historis turunnya ayat ini
bukan pertemanan dalam situasi damai dan bukan pula konteks pemilihan kepala
pemerintahan. Melihat hal-hal tersebut di atas, ide moral atau pesan utama dari
ayat ini adalah, sebagai berikut:
Pertama, perintah untuk berteman dengan
orang-orang yang bisa dipercaya, khususnya dalam hal-hal yang sangat penting
dalam kehidupan bermasyarakat, dan larangan untuk memilih aliansi dan berteman
dengan orang yang suka berkhianat. Perilaku adil kepada semua orang harus
ditegakkan dan kedzaliman atau ketidakadilan harus ditinggalkan. Karena, dalam
kaitannya dengan hidup bersama yang terdiri dari berbagai macam suku dan agama,
kelompok di luar Islam juga mempunyai hak dan kewajiban yang sama dengan kaum
muslimin. Tidak ada larangan untuk bersahabat dan berbuat baik kepada mereka
(Shihab, 2007: 125).
Sebagaimana firman Allah dalam Q.S.
al-Mumtahanah: 8, yang artinya “Allah tidak melarang kamu untuk berbuat
baik/memberikan sebagian dari harta kamu dan berlaku adil terhadap orang-orang
yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari
negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil”.
Kedua, komitmen bersama dan saling
menjaga perjanjian atau kesepakatan bersama itu harus ditegakkan dan tidak
boleh dikhianati. Apabila komitmen dan perjanjian itu dirusak secara sepihak,
maka yang akan terjadi adalah kehilangan kepercayaan dari kelompok yang
dikhianati, sebagaimana kehilangan kepercayaan umat Islam Madinah pada masa
Nabi kepada kaum Yahudi dan Nashrani yang menyalahi “Piagam Madinah” yang salah
satu intinya adalah saling menolong dan membantu antarkomunitas saat itu di
Madinah.
Ketiga, ayat tersebut tidak ada
hubungannya dengan pemilihan kepala negara atau kepala daerah. Islam hanya
mengajarkan bahwa kepala negara atau daerah sebaiknya orang yang mampu berbuat
adil kepada seluruh masyarakat yang berada di wilayah kekuasaannya, tanpa
memandang perbedaan suku dan agama.
2.Hukum Menistakan Agama dalam
Perspektif Islam
Mayoritas ulama mengklaim bahwa larangan
mencela simbol keagamaan masih tetap eksis kapan saja dan di mana saja. Mereka
menilai bahwa penistaan terhadap agama lain dapat membawa dampak negatif yang
juga dapat memantik benih-benih kebencian (Subhan dkk, 2013: 56).
Allah SWT. berfirman dalam Q.S.
Al-An’am: 108 yang artinya:
“Dan janganlah kamu memaki
sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan
memaki Allah dengan melampui batas tanpa pengetahuan. Demikianlah Kami jadikan
setiap umat menganggap baik pekerjaan mereka. Kemudian kepada Tuhan mereka
kembali, lalu Dia memberitakan kepada mereka apa yang dahulu mereka kerjakan”
Asbabun nuzul ayat tersebut ada beberapa
riwayat sebagai berikut:
Diriwayatkan al-Wahidi dari Qatadah,
“Kaum muslimin mencela berhala orang-orang kafir lalu mereka balik mencaci maki
Tuhan orang Islam, kemudian Allah melarang kaum muslim agar tidak mencela
sesembahan kaum jahil yang tidak ada pengetahuan tentang Allah”. Sementara itu,
Ibn Abbas berkata dalam riwayat al-Walibi, “mereka (orang-orang kafir)
mengatakan, “Wahai Muhammad berhentilah kamu dari menghina Tuhan kami atau
sungguh kami akan mengejek Tuhanmu!, kemudian Allah melarang orang Islam agar
jangan menghina berhala (sesembahan) orang-orang kafir sehingga dengan rasa
permusuhan mereka justru balik mengejek Allah yang tanpa didasari dengan ilmu
pengetahuan, lebih-lebih dengen ejekan yang lebih parah (Zuhaili, 1418 H: 322).
Al-Razi (1985: 13) dalam kitabnya
“Mafatih al-Ghaib” menilai bahwa secara implisit ayat tersebut merupakan
peringatan agar dalam berdakwah tidak terjebak dalam tindakan yang tidak
bermanfaat sekaligus merupakan ajakan umat Islam agar tidak bertindak layaknya
orang bodoh.
Menurut Zuhaili (1418 H: 324) Allah
melarang Rasulnya dan orang Islam agar jangan mencela sesembahan orang-orang
musyrik, meskipun itu ada manfaatnya, tetapi nanti justru menimbulkan kerusakan
yang lebih besar dari pada manfaatnya, yakni penghinaan kaum musyrik kepada
Allah sebagaimana yang dikatakan Ibn Abbas. Ini berarti menunjukkan bahwa
manfaat jika mendatangkan kerusakan maka haruslah ditinggalkan. Persoalan ini
sebenarnya secara khusus mengacu pada akhlak orang Islam terkait hubungan
dengan pemeluk agama lain.
Dalam kasus penistaan agama, baik
dilakukan oleh oknum, organisasi atau agama lain, umat jangan mudah terpancing
dengan isu-isu yang akan memecah belah umat, bangsa dan NKRI ini. Sebagaimana
anjuran para ulama dan para pakar, umat harus bertindak dengan akal sehat dan
menimbang antara manfaat dan madharat yang akan menimpa bangsa ini dan umat
Islam sehingga jika terjadi penistaan agama maka sudah ada lembaga dan
pihak-pihak terkait yang menganganginya. Dan pada akhirnya kerukunan umat
beragama masih tercipta secara kondusif dengan saling menghormati.
Masyarakat di Indonesia harus sepatutnya
mencintai tanah air dan mempunyai semnagat kebangsaan karena nasionalisme
adalah kesadaran keanggotaan dalam suatu bangsa yang secara potensial atau
aktual bersama-sama mencapai, mempertahankan dan mengabdikan identitas,
integritas, kemakmuran dan kekuatan sebuah bangsa dibahasakan dengan semangat
kebangsaan. Nasionalisme adalah persatuan, gotong royong, kebersamaan, dan
kerjasama sebuah warna negara untuk mencapai bangsa yang berdaulat dan maju.
3.Latar Belakang Terjadinya Peristiwa
Demo 04 November 2016 dan Polemik Pernyataan Ahok yang Dianggap Telah Menistakan
Al-Qur’an
Terjadinya peristiwa demo 04 November
2016 beberapa hari yang lalu secara khusus mengacu pada adanya dugaan penistaan
agama oleh Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok). Pertanyaan yang
terus muncul atas peristiwa ini adalah benarkah Ahok menodai agama?, atas
terjadinya polemik ini semua pihak setuju bahwa kasus ini harus di bahwa ke
ranah hukum.
Dalam video yang beredar luas, Ahok
berkata, “Jangan percaya sama orang, kan bisa aja dalam hati kecil bapak ibu
nggak pilih saya, ya kan? Dibohongin pake al-Ma’idah 51, macem-macem itu, itu
hak bapak ibu. Jadi, bapak ibu nggak bisa milih, nih, ‘karena saya takut masuk
neraka’, nggak apa-apa.”. Banyak orang menyayangkan dan bahkan marah dengan
kalimat Ahok yang tidak perlu di atas. Dan Ahok sendiri sudah mengklarifikasi
dan meminta maaf bahwa dia sama sekali tidak bermaksud melecehkan siapa pun,
apalagi Kitab Suci kaum Muslim. Bagi sebagian orang, kata “dibohongin” memang
dirasa keterlaluan (Sirry, Media Online).
Pasalnya, tidak mudah bagi pihak yang
berwenang untuk melakukan penegakan hukum yang seadil-adilnya karena dua hal.
Pertama, Majelis Ulama Indonesia (MUI) sudah mengeluarkan sikap bahwa Ahok
dinyatakan telah menghina al-Qur’an dan menghina ulama. Sikap MUI ini terasa
ganjil karena, sekali lagi, Ahok tidak pernah dipanggil untuk melakukan
klarifikasi. Ahok diadili secara in absentia. Padahal, MUI dapat melakukan
klarifikasi (tabayyun) terlebih dahulu sebelum Ahok dinyatakan bersalah.Kedua,
sikap Front Pembela Islam (FPI) yang mengerahkan ribuan massa dengan tuntutan
agar Ahok dihukum seberat-beratnya. Sekali lagi, FPI tidak bergerak sendiri,
melainkan bergelayut di bawah sikap MUI di atas. Mereka juga merencanakan aksi
massa pada 4 November nanti sebagai desakan kepada pihak Kepolisian agar
memenjarakan Ahok. Isu yang digelinjangkan: tangkap dan penjarakan penista
agama! (Misrawi, Kompas.com).
Yang luput dari perhatian publik, baik
mereka yang mendukung ataupun melawan, ialah kenyataan bahwa Ahok menyebut
surat al-Ma’idah ayat 51 itu dalam suasana polemik menjelang Pilkada DKI. Dalam
iklim polemik, klaim-klaim yang bersifat “melebih-lebihkan” bukan sesuatu yang
aneh, melainkan menjadi bagian kampanye di negara yang paling beradab
sekalipun.
Ketika Ahok mengatakan “dibohongin pake
al-Ma’idah 51”, dia sebenarnya sedang berpolemik melawan kelompok-kelompok
tertentu yang menggunakan atau menyalah-gunakan agama untuk tujuan politik
(duniawi). Tujuan polemik ialah untuk memenangkan pertarungan argumen. Bahwa
kalimat Ahok mengandung distorsi atau melebih-lebihkan, itu dapat dimengerti
sebagai pernyataan polemik.
Jadi, kalau mau jujur, makna yang
tersirat dalam pidatonya di Kepulauan Seribu, Ahok justru ingin mengajak kita
untuk menjauhi politisasi al-Qur’an. Ahok ingin mengatakan, tidak masalah jika
ada orang-orang tidak memilihnya dalam pilkada nanti, tapi jangan politisasi
ayat-ayat suci al-Qur’an. Hal ini menjadi jelas bahwa sebenarnya Ahok sedang
berpolemik dengan para rival serta orang-orang yang tidak mendukungnya akibat
dirinya adalah non-muslim, sementara banyak pihak yang menolak Ahok sering
menjadikan dan memanfaatkan ayat-ayat al-Qur’an dalam ruang lingkup kepentingan
politik semata.
Sementara, jika dibaca secara cermat,
sebenarnya surat al-Maidah ayat 51 sama sekali tidak berkaitan dengan masalah
kepemimpinan non-muslim. melainkan terkait dengan hubungan sosial dan
persahabatan antara orang-orang muslim dan non-muslim dalam konteks peperangan,
sebagaimana termaktub dalam sebab-sebab turunnya ayat tersebut. Sebagaimana
telah penulis analisis pada sub-bab sebelumnya, hampir semua kitab tafsir dari
klasik hingga kontemporer telah menegaskan hal tersebut. Bahkan, terjemahan
dari Departemen Agama RI tentang istilah awliya’ adalah “teman setia”, bukan
pemimpin. Itu artinya bahwa terjemahan itu telah sesuai dengan konteks turunnya
ayat tersebut.
Dalam konteks ini, pandangan Prof.
Quraish Shihab dalam Tafsir al-Misbah perlu direnungkan. Yang menyebabkan
Yahudi dan Kristen dilarang dijadikan awliya’, kata Prof. Shihab, bukan karena
mereka itu Yahudi atau Kristen, melainkan karena sifat-sifat negatif yang
disebutkan dalam ayat-ayat sebelumnya. Dengan kata lain, siapa pun berperilaku
tercela yang disebutkan dalam ayat 49 dan 50 (di antaranya “mengikuti hawa
nafsu” dan “menerapkan hukum jahiliyah”) tidak boleh dijadikan awliya’ (Shihab,
2007: 124).
Surat al-Maidah ayat 51 tidak
serta-merta dapat dijadikan sebagai justifikasi untuk menolak pemimpin
non-Muslim. Dalam kepemimpinan non-Muslim, saya memilih untuk mengikuti fatwa
ulama al-Azhar, Mesir, dalam Lembaga Fatwa Mesir yang menyatakan, tidak ada
larangan bagi non-Muslim untuk menjadi gubernur di kawasan mayoritas penduduk
Muslim, karena seorang gubernur pada hakikatnya hanya seorang pejabat
publik/birokrat yang tunduk pada hukum perundang-undangan. Kekuasaannya tidak
bersifat absolut (Misrawi, Kompas.com).
Kembali kepada persoalan apa yang
menjadi aspirasi terjadinya demo 04 November dan persoalan apakah Ahok telah
menistakan Agama? Karena persoalan ini sedang berada dalam proses hukum, maka
sepenuhnya kasus ini kami serahkan kepada pihak yang berwenang untuk menentukan
keputusan yang seadil-adilnya, tentunya tanpa ada tekanan apapun dari pihak
lain.
C.Perspektif Politik
Presiden Jokowi menyebut ada aktor-aktor
politik yang telah menunggangi demo 4 November sehingga memicu kerusuhan pada
Jumat malam. Sejumlah politisi memang muncul dan berbaur dengan para pengunjuk
rasa. Presiden menyesalkan kejadian ba'da Isya yang seharusnya sudah bubar,
tetapi menjadi rusuh. Presiden Jokowi tidak sendiri saat menggelar konferensi
pers malam hari itu. Ia didampingi Kapolri Jenderal Pol Tito Karnavian,
Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo, Kepala BIN Budi Gunawan, Menko Polhukam
Wiranto dan Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin. Pernyataan itu disampaikannya
setelah aksi bersama yang berlangsung damai sepanjang hari, berujung kerusuhan
di malam hari.
Beberapa politisi memang terlibat secara
langsung dalam aksi yang diikuti ratusan ribu orang tersebut. Yang paling
mencolok adalah dua Wakil Ketua DPR, yakni Fahri Hamzah dan Fadli Zon. Padahal,
sejumlah ormas yang terlibat dalam Aksi Bela Islam II itu sudah menyatakan
niatan mereka murni ingin menuntut proses hukum atas penistaan agama Ahok.
Massa yang besar, momen yang tepat memang sangat rentan dijadikan panggung
politik bagi para politisi. Fahri misalnya, turut berorasi dari mobil komando
Gerakan Nasional Pengawal Fatwa (GNPF) MUI yang menginisiasi aksi tersebut.
Saat berorasi, Fahri Hamzah malah menyebut tentang upaya menjatuhkan presiden.
Upaya pemakzulan, menurutnya, bisa dilakukan melalui dua jalur, yaitu melalui
desakan para demonstran dan melalui sidang di DPR. Fahri mengatakan menjatuhkan
presiden itu ada dua cara, pertama lewat parlemen ruangan dan kedua lewat
parlemen jalanan. Sesampainya di DPR pada Jumat malam hari, politisi yang
dipecat dari keanggotaan PKS tersebut mengonfirmasi ulang kepada wartawan
tentang materi orasinya seputar pemakzulan terhadap presiden. Menurut klaim
sepihak Fahri, situasi di lapangan telah mendukung terbentuknya pemerintahan
baru. Sedangkan Fadli Zon, tanpa ragu juga mengungkap tentang banyaknya
politisi yang turut serta dalam demo 4 November. Banyak yang ikut anggota DPR.
Dari Gerindra pun cukup banyak, dari PAN, PKS, ungkapnya. Padahal, Ketua Umum
Gerindra Prabowo Subianto dalam pertemuan dengan Presiden Jokowi beberapa hari
sebelumnya sudah sepakat untuk menciptakan situasi yang damai. Selain Fahri dan
Fadli Zon, ada berbagai politisi yang ikut berbaur bersama para peserta demo 4
November. Berdasarkan pengamatan tirto.id di lapangan, terlihat di antaranya
Fahira Fahmi Idris (Wakil Ketua Komite III DPD RI), Andi Mappetahang Fatwa atau
AM Fatwa (politisi PAN yang juga Ketua Badan Kehormatan DPD RI), Ali Mochtar
Ngabalin (politikus Partai Golkar, juga Abraham Lunggana atau Haji Lulung
(politisi PPP yang juga Wakil Ketua DPRD DKI Jakarta). Tak hanya mereka. Masih
ada Amien Rais (Ketua Dewan Kehormatan PAN dan mantan Ketua Umum DPP PAN), Sodik Mudjahid (Ketua DPP Partai Gerindra),
Lucky Hakim (politisi PAN), Rhoma Irama (Ketua Umum Partai Idaman), dan
Adhyaksa Dault (redaksiindonesia.com, 9/10/2016).
a.Partai Politik
1) Partai Gerindra
Gerindra meyakini kemenangan Ahok pada
Pilkada 2012 merupakan keinginan masyarakat agar Jokowi menjadi Gubernur, bukan
karena memilih Ahok. Keputusan Ahok bergonta-ganti partai dianggap sebagai
ancaman yang bisa mendorong terjadinya deparpolisasi. Kerenggangan hubungan
antara Ahok dan Gerinda terjadi semenjak Ahok memutuskan untuk keluar dari
Partai besutan Prabowo dan bertambah meruncing menjelang Pilkada 2017. Selama
menjabat sebagai Gubernur, sebagian kader Gerinda menilai Ahok tak berhasil
dengan baik. Gaya kepemimpinan ahok yang blak-blakan dan ceplas-ceplos dinilai
cenderung kasar dan menzalimi masyarakat Jakarta. Misalnya ketika melakukan
penggusuran di Kalijodo, Ahok sempat mengatakan akan menggunakan tank militer
apabila warga tak kunjung meninggalkan lokasi (Ramadhany, 2016:147).
Barisan penentang Ahok semakin bertambah
jumlahnya semenjak ia meninggalkan partai Gerindra. Ahok keluar lantaran partai
pendukungnya dianggap sudah berbeda pendapat mengenai mekanisme pemilihan
kepala daerah. Ahok resmi mengundurkan diri dari Gerindra sejak 10 September
2014. Keputusannya mengundurkan diri dari Gerindra ialah karena ia sudah tidak
sepakat dengan usulan Gerindra yang ingin pemilihan kepala daerah dipilih oleh
DPRD. Ahok yang menjabat sebagai Ketua Dewan Pimpinan Pusat Bidang Politik
Partai Gerindra tidak sepakat dengan keputusan partai berlambang burung Garuda
itu yang meminta pemilihan kepala daerah oleh DPRD setempat. Sesuai AD/ART partai politik, kader harus
menaati semua keputusan partai. Jika tidak bisa menaati keputusan itu, kader
tersebut harus keluar. Maka dari itu, sebagai konsekuensi politik itulah, dia
memutuskan untuk hengkang dari partai besutan Prabowo Subianto itu (Kompas.com
10/9/2014).
Ketua Tim Pemenangan DPD Partai Gerindra
DKI Jakarta, Syarif, mengatakan Prabowo menginginkan hanya ada dua pasang calon
dalam Pilkada DKI 2017. Syarif mengatakan, Prabowo sedang memberikan pengertian
kepada Sandiaga mengenai pentingnya kesolidan Koalisi Kekeluargaan. Jika
Sandiaga bisa menerima, dia harus siap dengan skenario untuk menjadi bakal
calon gubernur atau bakal calon wakil gubernur. Head to head penting
dilakukakan mengingat Ahok bukanlah lawan biasa, dia memiliki basis kekuatan
independen. (Kompas.com 1/9/2016). Namun, pada akhirnya harapan Gerindra
tentang Pilkada DKI 2017 pupus sudah, menurut Wakil Ketua Umum Partai Demokrat,
Syarif Hasan mengatakan pertemuan antara empat partai koalisi dalam Pilkada
Jakarta pada Rabu malam sudah mengerucutkan nama calon kandidat. Namun,
Gerindra tetap menginginkan Sandiaga Uno sebagai calon gubernur Jakarta.
Pertemuan antara Partai Demokrat, PPP, PKB, dan PAN sudah mengerucutkan nama
calon. Komunikasi dengan Gerindra dan PKS tetap terbuka namun Gerindra ingin
Sandiaga tetap nomor satu (Okezone.com 22/10/2016).
2) Partai Demokrat
Jauh sebelum pendaftaran dan penetapan
nama cagub dan cawagub DKI Jakarta, Partai Demokrat sudah menutup pintu
dukungan kepada petahana Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) untuk maju Pilgub DKI
Jakarta 2017. Ketua DPP Partai Demokrat Ruhut Sitompul mengaku, penolakan
terhadap Ahok di Pilgub bukan keinginan sepenuhnya dari Ketua Umum Partai
Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Menurut dia, ada oknum-oknum petinggi
Partai Demokrat yang sengaja melakukan pembisikan terhadap SBY agar menolak
mantan Bupati Belitung Timur tersebut. Ruhut yang dengan tegas mendukung Ahok
mengaku, tidak akan takut jika nantinya diberi sanksi lantaran membangkang
dengan keputusan partai berlogo bintang mercy tersebut. Wakil Ketua Umum Partai
Demokrat Syarief Hasan mengatakan, alasan tidak akan mendukung Ahok karena
dalam memimpin DKI, mantan Bupati Belitung Timur tersebut belum menunjukan
prestasi yang membanggakan. Penolakan dukungan terhadap Ahok tersebut sudah
menjadi keputusan dari Ketua Umum Partai Demokrat, Susilo Bambang Yudhoyono
(Jawapos.com 29/8/2016).
Partai Demokrat (PD) meminta para
kadernya yang ikut aksi demonstrasi pada 4 November 2016 tidak menggunakan
atribut atau simbol partai. Demonstrasi yang dilakukan oleh beberapa elemen
organisasi masyarakat (ormas) Islam tersebut diharap tidak anarkis. Ketua DPD
PD DKI, Nachrowi Ramli mengatakan, sesuai dengan intruksi Ketua Umum PD, Susilo
Bambang Yudhoyono (SBY), kader partai yang mengikuti aksi demonstrasi kasus
dugaan penistaan agama yang diduga dilakukan Cagub DKI Jakarta, Basuki Tjahaja
Purnama (Ahok) dilarang menggunakan atribut atau simbol-simbol partai. Namun
dia membantah bila PD mendukung aksi demonstrasi tersebut dan apabila ada kader
yang ikut berdemonstrasi, itu atas nama pribadi bukan nama partai, dan itu
adalah hak masing-masing. Pria yang disapa Nara ini menjelaskan, di alam
demokrasi aksi demonstrasi oleh masyarakat serta elemen-elemen organisasi
kemasyarakat merupakan dinamika yang harus dicermati secara positif oleh semua
pihak di tanah air. Namun, mantan kepala lembaga sandi negara ini mengimbau,
agar massa yang akan turun menggelar aksi diperkirakan berjumlah 500.000 orang
itu tidak melakukan hal-hal yang menjurus pada anarkisme dan merusak
nilai-nilai kebhinekaan serta ketatanegaraan yang sudah terbangun puluhan tahun
di tanah Indonesia (Sindonews.com 3/11/2016).
Berita tentang keterlibatan Partai
Demokrat dalam aksi 4 november hampir seperti asap yang tak berwujud, hal ini
patut diduga dari pernyataan SBY didepan media. Pengamat politik Ray Rangkuti
menjelaskan, tuduhan kaitan SBY dan demo dipicu oleh keterangan pers di Cikeas
dan juga karena Presiden Jokowi menemui tokoh Gerindra yang juga pesaing di
pilpres, Prabowo Subianto. Langkah politik Jokowi boleh disebut, hanya SBY
orang-orang yang berseberangan dengan Jokowi. (Hanya SBY) yang tidak ditemui
Jokowi sebelum kejadian 4 November. Seperti kita ketahui, Jokowi bertemu Pak
Prabowo dan dengan beberapa majelis ulama. Pada saat yang bersamaan tidak
menemui Pak SBY di Jakarta. Kedua, rekasi yang dimunculkan Pak SBY yang
seolah-olah SBY sendiri yang memposisikan dirinya sebagai orang yang dianggap
berkaitan dengan peristiwa 4 November. Terakhir, setelah peristwa itu ada
pernyataan Pak Jokowi yang menyatakan ada dugaan kerusuhan yang terjadi setelah
aksi damai itu ditunggangi oleh kepentingan politik tertentu, inilah yang
mendasari (mengapa) mengerucut ke Pak SBY (bbc.com 7/11/2016).
3) Partai-partai ‘Islam’
Penolakan partai-partai Islam terhadap
kepemimpinan Ahok memuncak ketika Jokowi terpilih jadi presiden. Kemenangan
tersebut berarti naiknya Ahok menjadi Gubernur Jakarta. Penolakan PPP juga
ditegaskan oleh politisi senior partai, Bachtiar Chamsyah, kepada media
menyebutkan bahwa sebagai partai yang berlandaskan Islam adalah keniscayaan
bagi PPP untuk tidak mendukung Ahok. Penolakan tersebut semata-mata hanya
perbedaan Agama. Perbedaan akidah tersebut menjadi hal yang prinsipil. Lebih
lanjut ditambahkan bahwa agama melarang memilih yang tidak seiman dan harus
berpegang pada surat Ali Imran 28 (Ramadhany, 2016:157).
Ketua Dewan Kehormatan Partai
Amanat Nasional (PAN), Amien Rais, dalam pidatonya, yang disampaikan dalam
Kongres BM PAN, di Royal Hotel, Kuningan, Jakarta, Sabtu (20/8/2016). Amien
Rais menyerukan kepada seluruh kader Barisan Muda Penegak Amanat Nasional (PAN)
untuk tidak memilih calon incumbent Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja
Purnama (Ahok), pada Pilkada DKI Jakarta 2017. Mengapa menolak Ahok? Menurut
Amien, lantaran sikap Ahok yang dinilai tidak santun dalam memimpin. Amien
menolak Ahok, bukan karena agama dan ras. Bahkan, dia bakal tetap menolak Ahok
meskipun menjadi seorang muslim. Menurut Amien, pihaknya tidak memilih Ahok
bukan karena agamanya, bukan karena rasnya tapi Ahok itu tidak boleh lagi
menjadi Gubernur Jakarta karena dia itu beringas, dia bengis dan hampir
menyerupai bandit. Andaikata Ahok itu orang Islam jelas Amien, namanya Ahmad
Mahmud, dirinya tetap akan melawan. "Karena dia bengis, dia tidak suka
sama orang melarat, digusur. Lebih lanjut Amien mengatakan bahwa Ahok adalah
antek global. Amien berulang kali menyampaikan bahwa penolakan dirinya bukan
karena agama, bukan karena ras, tapi karena Ahok jadi Gubernur sudah kelewatan
(timesindonesia.co.id, 20/8/2016). Amien menjamin partainya tak akan membangun
koalisi dengan parpol pendukung petahana Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok,
yakni Partai Golkar, Partai Nasdem, dan Partai Hanura. Ia menegaskan, PAN tidak
akan mendukung Ahok karena sikapnya yang dianggap tidak pro-rakyat, yang pasti
bukan Ahok. Saya sudah wanti-wanti kalau PAN sampai dukung Ahok, saya minta
kongres luar biasa (Kompas.com, 12/9/2016).
Sekretaris Jenderal Dewan Pengurus
Pusat (DPP) Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Mustafa Kamal mengaku dapat
memahami jika ada anggota PKS yang turut berpartisipasi dalam aksi unjuk rasa
di depan Istana. Namun, kader yang berunjuk rasa dilarang menggunakan atribut
partai. Silahkan saja ikut aksi, tapi jangan menggunakan atribut partai. Lebih
baik menggunakan atribut yang menjunjung tinggi simbol kebangsaan dan keumatan,
seperti Bendera Merah Putih. Mustafa Kamal mengemukakan, PKS meyakini bahwa
menyuarakan aspirasi adalah hak setiap warga negara yang dijamin penuh oleh
konstitusi. Kamal juga meyakini bahwa keluarga besar PKS yang turut serta dalam
aksi tersebut menyadari bahwa mereka melakukannya bukan atas nama partai,
sehingga tidak perlu menggunakan atribut partai. PKS secara institusional
memilih memperjuangkan aspirasi umat Islam lewat parlemen.PKS juga berkomitmen
akan terus mengawasi dan mengawal kasus penistaan agama yang diduga dilakukan
oleh Gubernur DKI Jakarta non-aktif Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok
(kompas.com, 4/11/2016).
Anggota Komisi III DPR Abdul Kadir
Karding menilai, unjukrasa tersebut tidak masalah digelar, karena Indonesia
negara demokrasi. Aksi damai untuk menyampaikan suara itu bagian dari
demokrasi. Unjuk rasa itu diberi ruang yang proporsional baik oleh pemerintah
maupun aparat keamanan. Sekretaris Jenderal (Sekjen) Partai Kebangkitan Bangsa
(PKB) tersebut menambahkan, Indonesia sebagai demokrasi tidak melarang
masyarakat untuk berunjuk rasa. Demonstrasi dilakukan secara damai, tertib, dan
sesuai aturan (tribunnews.com, 1/11/2016). DPW PKB DKI sudah memutuskan
mengusung Sandiaga Uno di Pilgub DKI. DPP PKB pun tampaknya siap mengikuti
keputusan partai di tingkat bawah yang menolak mengusung kandidat gubernur
petahana Basuki T Purnama (Ahok). Prinsip dasar menolak Ahok. Bukan karena beda
agama. Lebih karena memang sesungguhnya kepemimpinan ini biasa-biasa aja.
Menurut Karding, elektabilitas Ahok kian hari kian menurun. Itu dilihat PKB
sebagai dampak dari kebijakan-kebijakan Ahok yang dinilai banyak membuat
masyarakat kecil gelisah. Serapan anggaran Pemprov DKI yang kecil juga menjadi
pertimbangan PKB untuk tidak mendukung Ahok. Termasuk kebijakan soal
penggusuran yang dianggap PKB kurang tepat. Hal senada juga diucapkan oleh
Wasekjen PKB Daniel Johan. Internal PKB di Jakarta disebutnya sudah turun ke
basis-basis partai di DKI untuk mensurvei mengenai cagub dan cawagub DKI.
Karena DPW dalam mengambil keputusan berdasarkan sosialisasi dan survei ke
ranting-ranting basis di DKI yang ternyata banyak menolak Ahok. Dalam Pilgub
DKI ini, PKB ternyata tidak harus 'follow' PDIP seperti pada Pilpres 2014 lalu.
PDIP dikabarkan akan kembali mengusung Ahok-Djarot untuk Pilgub DKI 2017
(detiknews.com, 30/8/2016).
b.Organisasi Masyarakat
Peneliti bidang terorisme Sidney Jones
menilai demonstrasi yang akan berlangsung pada 4 November mendatang tidak murni
dilakukan Front Pembela Islam (FPI) dan sejumlah organisasi Islam dari berbagai
daerah. Ada banyak unsur, ada juga seperti unsur ekstrim. Pernyataan Sidney bukan tanpa dasar. Sebab,
dia mengaku mendapat informasi dari sebuah telegram ada perintah yang menyatakan
kelompok radikal telah memerintahkan pengikutnya untuk memanfaatkan demo pada
Jumat pekan ini. Kelompok ini diduga merupakan ISIS. Dalam perintah itu, mereka
diperintahkan untuk terlibat dalam demonstrasi.
Menurut Sidney, potensi kekacauan menjelang pilkada bukan hanya akan
tergambar pada demo mendatang. Namun jauh sebelum Gubernur DKI Jakarta Basuki
Tjahaja Purnama menyinggung soal ayat Al Quran, potensi kerusuhan sudah terjadi
dan dilakukan kelompok radikal. Dia mencontohkan kasus penyerangan tiga polisi
di Tangerang yang terduga ISIS. Ribuan umat Islam berencana menggelar demo di
Jakarta pada Jumat, 4 Nopember nanti. Menurut Sidney, demo itu juga tidak bisa
dibilang tanpa biaya sedikit. Sebab, ada ribuan massa yang datang dari luar
Jakarta Tentu ada logistik, akomodasi, dan transport yang dihabiskan. Dia
mengaku tidak tahu siapa pihak yang mendanai aksi demo itu. Namun dia menduga
ada unsur politik yang terlibat. Sidney mengatakan, beredarnya foto orang
Indonesia di Suriah yang menggunakan seruan kebencian terhadap Basuki alias
Ahok juga menjadi tanda. Dia menduga ada keterkaitan antara kelompok ISIS di
Suriah dengan kelompok radikal di Indonesia dalam konteks keterlibatan pada
demo mendatang. Paling sedikit sudah ada hubungan dari mereka dengan kelompok
keras di Indonesia. Sidney justru menyayangkan sikap pemerintah dan organisasi
keagamaan besar di Indonesia. Dia mempertanyakan mengapa pemerintah tidak dari
dulu memanggil Gubernur DKI Jakarta dan organisasi Islam untuk mendinginkan
situasi. Dia menilai demo pada 4 November nanti sebagai akibat dari sikap
pemerintah yang tidak segera turun tangan. Dia pun menyesalkan politikus di
Indonesia yang terkesan membiarkan kelompok-kelompok garis keras menguasai
politik di Tanah Air (Tempo.co, 1/11/2016).
FPI berpandangan bahwa kebijakan Ahok
mendiskreditkan umat Islam, pelarangan sejumlah kegiatan yang berhubungan
dengan tradisi Islam, seperti tablig akbar di Monas, takbir keliling, dan
pemotongan hewan kurban dijalanan dan disekolah-sekolah. FPI kwatir Ahok yang
bersala dari minoritas akan makin melakukan tindakan-tindakan diskriminatif
jika duduk sebagai pemimpin DKI. FPI bahkan terang-terangan menyebut Ahok
sebagai musuh Islam. FPI menilai Ahok terlalu arogan, kasar dan tak bermoral
sehingga tak layak menjadi pemimpin ibu kota dan gayanya selama ini tidak
mencerminkan sikap pemimpin daerah setingkat jakarta (Ramadhany, 2016: 102).
Para tokoh Islam itu membentuk Gerakan
Masyarakat Jakarta (GMJ) Tolak Ahok. Mereka bersepakat akan melengserkan Ahok
lewat jalur konstitusi. Imam Besar Front Pembela Islam (FPI) Habib Muhammad
Rizieq Syihab yang hadir dalam pertemuan tersebut menguraikan sejumlah alasan
mengapa umat Islam wajib menolak Ahok. Ada sejumlah kebijakan dan perilaku
negatif Ahok selama menjalankan jabatan dan fungsinya sebagai Wakil Gubernur
DKI Jakarta yang menimbulkan berbagai masalah serius, antara lain: pertama,
kerasahan umat Islam DKI Jakarta atas agama Ahok yang non Islam yang akan naik
menjadi Gubernur DKI Jakarta. Kedua, keresahan masyarakat Tionghoa di Jakarta
dan daerah lainnya, karena sikap arogansi Ahok bertentangan dengan falsafah
masyarakat Tionghoa yang ramah lagi santun, sehingga dikhawatirkan akan bisa
menimbulkan dan menyulut aksi anti Cina di Indonesia. Ketiga, keresahan umat
beragama di Jakarta atas wacana yang pernah dilontarkan Ahok terkait
penghapusan status agama di KTP warga DKI Jakarta. Keempat, penghinaan terhadap
agama Islam juga agama yang lain yang mana Ahok mengatakan ayat-ayat konstitusi
di atas ayat-ayat suci. Kelima, menggusur dua masjid di TIM (Taman Ismail
Marzuki) dan Jatinegara. Keenam, merubah pakaian seragam sekolah muslim/ah pada
hari Jum’at dari baju muslim menjadi pakaian adat. Ketujuh, wacana Ahok untuk
merubah jam sekolah menjadi jam 9 pagi yang nantinya akan menyebabkan anak-anak
umat Islam tidak lagi bangun shubuh. Kedelapan, mengurangi bantuan terhadap
majelis taklim dari 900 majelis taklim menjadi 80 majelis taklim. Kesembilan,
mengurangi kuota untuk bantuan pembangunan masjid dari 1.000 Masjid selama 1
tahun menjadi 300 masjid selama 1 tahun. Kesepuluh, menghapuskan bantuan untuk
madrasah dan sekolah Islam. Kesebelas, menghentikan bantuan makan untuk jamaah
haji DKI Jakarta di tahun 2014. Kedua belas, mendukung pembangunan Gereja yang
tidak sesuai dengan peruntukan. Ketiga belas, menempati posisi-posisi ketua
lembaga-lembaga keislaman di bawah Pemda DKI Jakarta. Keempat belas, banyak kemaksiatan
dan kemunkaran yang dilakukan Ahok salah satunya akan melokalisasi tempat
prostitusi/pelacuran. Kelima belas, penghinaan Ahok terhadap ormas Islam yang
menuntut penutupan semua tempat pelacuran dengan menyebutnya sebagai ormas
munafik. Keenam belas, tidak bisa
mengayomi dan turun ke warga DKI Jakarta dalam kegiatan-kegiatan keagamaan.
Ketujuh belas, penyalahgunaan jabatan untuk misi Kristenisasi dengan kedok
lelang jabatan sehingga lurah-lurah non Islam menjadi lurah di tengah warga
yang mayoritas beragama Islam. Ia juga sudah melelang jabatan Kepala Sekolah
Negeri se DKI, saat ini di Jakarta Barat saat saja 80% kepala sekolah negeri
beragama Kristen. Kedelapan belas, arogansi Ahok terhadap PNS dari jajaran
pemda DKI Jakarta hingga tingkat kelurahan, bahkan pernah memarahi mereka
dengan menyebutnya sebagai "binatang". Kesembilan belas, penghinaan
Ahok terhadap para anggota DPRD DKI Jakarta dengan menyebut mereka sebagai
pemeras dan tukang palak serta suka memperbudak Pemda sebagaimana dilansir oleh
berbagai media cetak dan elektronik. Kedua puluh, penghinaan Ahok terhadap
rakyat dan pejabat di Jakarta dengan mengatakan “Bajingan di Jakarta mulai dari
rakyat jelata hingga pejabat” yang dimuat Tribunnews.com, Kamis, 4 September
2014. Kedua puluh satu, tidak legitimate karena Ahok bukan pilihan mayoritas
warga DKI Jakarta. Terpilihnya Ahok hanya karena satu paket dengan Jokowi yang
memiliki pencitraan dan elektabilitas tinggi. Itu pun yang memilih Jokowi-Ahok
hanya sepertiga warga Jakarta. Kedua puluh dua, melanggar konstitusi dengan
menerbitkan Instruksi Gubernur No 67 tahun 2014, saat menjabat Plt. Gubernur
DKI Jakarta ketika Jokowi cuti untuk Pilpres, yang berisi tentang pelarangan
penjualan hewan kurban di tempat umum dan pemotongannya di halaman sekolah dan
masjid serta fasilitas publik lainnya pada saat hari raya Idul Adha. Kedua
puluh tiga, melanggar kearifan lokal karena penjualan hewan kurban di tempat
umum dan pemotongannya di halaman sekolah dan masjid serta fasilitas publik
lainnya pada saat hari raya Idul Adha adalah sudah menjadi tradisi umat Islam
Indonesia sejak ratusan tahun lalu. Kedua puluh empat, menodai Islam karena
keputusan tersebut telah menghina syariat kurban yang menjadi bagian penting
dari syiar Islam. Dan yang kedua puluh lima, penyebab terjadinya kerusuhan
Tanah Abang dan insiden DPRD sebagai akibat dari keputusan kontroversialnya
tersebut. "Itu semua sudah cukup menjadi alasan mengapa umat Islam
khususnya warga DKI Jakarta untuk menuntut Ahok dilengserkan. Dan sudah cukup alasan
bagi DPRD Jakarta untuk menggunakan hak interplasi, hak angket, dan hak
impeacment kepada Kemendagri lalu meminta fatwa Mahkamah Agung (MA) agar Ahok
diberhentikan," pungkas Habib Rizieq (suara-islam.com, 4/10/2016).
Ketua Dewan Syuro Front Pembela Islam
(FPI) KH. Misbahul Anam menegaskan umat Islam khususnya yang menjadi warga DKI
Jakarta wajib bersatu menolak Basuki Purnama alias Ahok menjadi gubernur. Dan
wajib bagi anggota DPRD DKI untuk sidang istimewa untuk penolakan Ahok sebagai
realisasi wakil rakyat. Dia menyebut minimal ada lima alasan menolak Ahok.
“Pertama, Tidak ada dalil pemimpin kafir yang adil apalagi melindungi warga
muslim. Kedua, Ahok itu arogan, sombong bahkan kerap berkata kasar. Ketiga,
dari berbagai elemen masyarakat DKI sudah muak dan menolak kepemimpinannya.
Keempat, Ahok selalu teriak demokrasi. Dalam demokrasi tidak ada minoritas
memimpin mayoritas. Lihat Amerika sebagai negara yang katanya guru demokrasi,
tidak pernah ada gubernur atau menteri muslim karena Amerika negara kafir. Atau
lihat Bali, kemarin ada calon gubernur beragama Hindu yang ditolak hanya karena
sering pakai peci, karena peci dianggap simbol Islam. Dan yang kelima, alasan
menolak Ahok adalah karena warga DKI mayoritas pribumi-Muslim sedangkan Ahok
Cina-kafir (arrahman.com, 24/9/2014).
Julukan barisan 'Anti Ahok' tak salah
disematkan ke Front Pembela Islam (FPI). Pelbagai macam demonstrasi dilakukan
oleh ormas Islam ini untuk 'menjatuhkan' Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja
Purnama (Ahok). FPI pada 4 November bersama sejumlah ormas Islam lainnya akan
kembali menggelar aksi demonstrasi besar-besaran. Kali ini, untuk menuntut
adanya proses hukum terhadap dugaan penistaan agama yang dialamatkan ke Ahok
karena mengutip surah Al Maidah 51. Front Pembela Islam memastikan tak akan
mendukung pencalonan Ahok dalam Pilkada DKI tahun 2017. Juru Bicara FPI
Munarman bahkan menyebut tak ada calon gubernur nomor urut dua. FPI tak
menganggap mantan Bupati Belitung Timur tersebut yang mendapatkan nomor urut
dua di Pilkada DKI tahun 2017. Munarman mengaku, Pilkada DKI tahun 2017 hanya
diikuti oleh dua pasangan calon, yaitu pasangan nomor urut satu, Agus
Yudhoyono- Sylviana Murni dan pasangan nomor urut tiga, Anies Baswedan-
Sandiaga Uno. Menurut Munarman, calonnya cuma dua, nomor satu sama nomor tiga.
Maka dari itu, Munarman menyebut FPI akan mendukung pencalonan dari salah satu
calon, yaitu Agus Yudhoyono atau Anies Baswedan. Meski, dia tak mau memastikan
bakal kemana suara FPI pada Pilkada DKI tahun 2017, (FPI dukung) kalau nggak
nomor satu ya tiga. Jadi kalau tanya saya, cuma ada dua calon, nomor satu sama
nomor tiga (merdeka.com, 28/10/2016).
c. Lembaga Keagamaan
Imam Besar Masjid Istiqlal Prof Dr KH
Nasarudin Umar menegaskan umat Islam yang akan mengikuti demonstrasi, 4
November mendatang, agar tidak anarkis, menjaga persatuan, dan taat aturan.
Selain itu, aparat kepolisian harus cermat dan super hati-hati dalam melakukan
pengamanan karena aksi ini akan sulit dideteksi terkait potensi kemungkinan
ditunggangi kelompok radikal. Menurut Nasarudin, dari informasi yang ia terima,
beberapa ulama dan tokoh Islam akan ikut kegiatan tersebut seperti Ketua MUI KH
Ma’ruf Amin, KH Didin Hafidhuddin, mantan Ketua Umum Muhammadiyah Din
Syamsudin, KH Abdullah Gymnastiar, Ustadz Yusuf Mansur, dan Ustadz Arifin Ilham. Bahkan juga ada
beberapa anggota DPR. Ia yakin dengan adanya kepemimpinan dan bimbingan para
ulama dari MUI, NU, dan Muhammadiyah, serta para tokoh lainnya, aksi itu akan
berjalan lancar dan umat tidak terpancing oleh kelompok-kelompok tertentu yang
ingin membenturkan Islam dengan kepentingan lainnya, terutama yang yang ingin
memecah belah NKRI. Nasarudin menilai, aksi demonstrasi merupakan bentuk
dukungan umat Islam kepada pemerintah untuk melakukan tindakan terhadap upaya-upaya
yang melecehkan agama Islam dan telah menyinggung perasaan umat. Ia memuji
pernyataan Kapolri, Panglima TNI, dan Kapolda Metro Jaya, yang melarang
anggotanya menggunakan senjata dalam mengamankan aksi itu. Demontrasi dilakukan
setelah salat Jumat dari Masjid Istiqlal menuju Istana Negara. Sebagai pimpinan
Masjid Istiqlal, Nasarudin Umar tidak bisa melarang umat Islam untuk datang.
Namun ia menegaskan, pihaknya tidak mau menjadikan Masjid Istiqlal sebagai
panggung politik untuk siapa pun (tribunnews.com, 1/11/2016).
Majelis Ulama Indonesia (MUI) tidak
melarang umat Islam untuk mengikuti demonstrasi pada 4 November ini kendati
lembaga ini tetap mengingatkan agar unjuk rasa dilakukan dengan tertib dan
damai. Meski demikian, menurut Maruf, MUI tidak menganjurkan umat Islam
menggelar demontrasi karena sejatinya proses hukum dugaan penistaan agama
dengan terlapor Basuki Tjahaja Purnama sedang berlangsung. Dia menyerahkan
kasus dugaan penistaan agama tersebut kepada aparat yang berwenang. MUI
mengharapkan proses hukum berjalan dengan baik sesuai peraturan dan tidak ada
intervensi dari mana pun, termasuk dari pemerintah. Singkat kata, Maruf
mengatakan jika proses hukum sedang berlangsung di Kepolisian maka unjuk rasa
sejatinya belum diperlukan. Ma'ruf menegaskan sikap MUI jelas, berdasarkan
kajian tim internal memang ada indikasi penistaan agama. Kajian yang dilakukan
oleh MUI itu dilakukan secara hati-hati dan seksama. MUI, kata Maruf, bersikap
netral dalam Pilkada DKI Jakarta. Dengan begitu, segala pernyataan MUI yang
menyasar Ahok terkait dugaan penistaan agama murni karena adanya kesalahan atau
tidak terkait dengan sikap politik untuk menjegal salah satu calon kepala
daerah (tribunjateng.com, 2/11/2016).
Pimpinan Wilayah (PW) Muhammadiyah DKI
Jakarta Syahrul Hasan, menginginkan adanya perubahan kepemimpinan di ibu kota.
Hal itu diimplementasikan dengan mengeluarkan kriteria calon gubernur yang
layak dipilih warga Muhammadiyah dan juga masyarakat Jakarta secara
keseluruhan. Sebagai organisasi keagamaan, Muhammadiyah memang tidak masuk
dalam politik praktis. Namun kami (PW Muhammadiyah DKI) diwajibkan mengeluarkan
kriteria pemimpin untuk menjadi panduan masyarakat dalam memilih. Kriteria
pemimpin yang kami keluarkan tersebut akan terus kami sosialisasikan kepada
masyarakat. Syahrul mengakui sosok Ahok memang tidak masuk dalam kriteria yang
ada. Sebab menurut penilaian Muhammadiyah DKI, kepemimpinan Ahok sejauh ini
selalu mengedepankan kekerasan dan mengesampingkan nilai kemanusiaan. Syahrul
mencontohkan, dalam hal penggusuran warga miskin di sejumlah wilayah, selalu
saja jatuh korban. Hal itu terjadi lantaran didahulukan penggunaan aparat dari
pada cara persuasif (jpnn.com, 10/10/2016).
Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU)
DKI Jakarta terus memantau perkembangan politik di ibu kota. Namun satu hal
yang sudah dipastikan oleh NU, yakni tidak akan memberikan dukungannya kepada
calon gubernur yang mengedepankan kekerasan serta arogan dan semena-mena
terhadap rakyat miskin. Demikian disampaikan Wakil Majelis Syuro PWNU DKI
Jakarta KH Yusuf Aman belum lama ini. Menurut dia, pola kepemimpinan yang
dijalankan begitu gaduh dan jauh dari kesejukan. Apalagi Pemprov DKI Jakarta
juga terbelit banyak masalah hukum. Mulai dari kasus UPS, kasus RS Sumber
Waras, hingga Reklamasi Jakarta Utara. Menurut Yusuf, situasi politik di
Jakarta saat ini memang butuh perhatian semua pihak. Karenanya, Yusuf meminta
agar kedepan masyarakat DKI bersatu padu dan sama-sama berfikir bagaimana
membangun Jakarta kedepan yang lebih baik. Masyarakat harus dibantu dibukakan
hatinya, agar mengetahui kondisi pemerintahan yang seutuhnya. Bukan hanya
sepotong-sepotong. Masyarakat harus mulai diajak untuk berfikir kritis. NU
tidak akan masuk ke wilayah politik praktis. Karena memang secara struktural NU
tidak boleh berpolitik, tapi secara kultural suara arus bawah di NU adalah
gambaran nyatasemua elemen masyarakat
tidak boleh lagi bercerai-berai (jpnn.com, 10/10/2016).
Fakta yang terjadi di lapangan, selepas
berdemo di depan Istana Negara, sebagian para peserta demo 4 November memang
berjalan beriringan menuju Kompleks DPR/MPR RI menjelang tengah malam. Mereka
berbaris memanjang sekitar 6 kilometer. Sesampai di gerbang DPR, rombongan yang
dipimmpin Imam Besar FPI Habib Rizieq Shihab, ditemui sejumlah politisi. Di
antaranya Zulkifli Hasan (Ketua MPR), Aboebakar Al-Habsy (anggota Komisi III
dari Fraksi PKS), Sufmi Dasco Ahmad (anggota Komisi III Fraksi Gerindra),
Hanafi Rais (Wakil Ketua Komisi I DPR dari PAN) dan Mulfachri Harahap (Ketua
Fraksi PAN). Zulkifli sempat terlibat perbincangan serius dengan Habib Rizieq
dan Ali Mochtar Ngabalin. Berbeda dengan pernyataan sehari menjelang aksi,
Zulkifli justru meminta para demonstran tak istirahat atau bermalam di kompleks
DPR/MPR RI. Apalagi sebelumnya, perwakilan pemerintah yang dipimpin Wapres JK
sudah menerima perwakilan demonstran di Istana Negara. Namun, pendapatnya
berseberangan dengan Aboebakar yang justru meminta massa demonstran diizinkan
masuk ke Kompleks DPR RI. Ngabalin juga ikut merayu Zulkifli. Ini memang
haknya, harus kita lurusin Bang Zul (Zulkifli Hasan). Jangan begitulah, ucap
Ngabalin. Namun Zulkifli tak mau mengubah sikap (redaksiindonesia.com,
9/10/2016).
D.Tinjauan Pancasila
Sebagai dasar Negara Pancasila yang
digunakan untuk mengatur seluruh tatanan kehidupan bangsa dan juga negara
Indonesia, segala sesuatu yang hubungannya dengan pelaksanaan sistem
ketatanegaraan Negara kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang wajib atau harus
berdasarkan Pancasila. Demo yang terjadi di Jakarta pada tanggal 4 November
2016 erat kaitannya dengan Pancasila. Statement Ahok yang dianggap menistakan
agama Islam dengan membawa ayat Al-Qur’an telah melanggar nilai-nilai dalam
Pancasila.
Segala hal mengenai kenegaraan harus
sesuai dengan hakikat Tuhan. Hakikat Tuhan sebagai suatu realitas tertinggi
dapat dicapai melalui berbagai aspek. Moralitas merupakan salah satu aspek
untuk mendekati hakikat Tuhan dalam hal kenegaraan. Tidak ada yang salah
mengenai tuntutan umat muslim terhadap pengusutan statement Ahok pada demo 4
November 2016. Sikap Ahok dirasa tidak etis karna melampaui batas apa yang
seharusnya dilakukan.
Sila Ketuhanan Yang Maha Esa
bersinggungan dengan nilai-nilai agama. Demo 4 November 2016 yang diikuti oleh
sejumlah umat muslim meminta Ahok untuk diberi sanksi atas statement yang telah
diucapkan. Dalam hal ini, Ahok yang merupakan seorang penganut agama Kristen
dianggap tidak berhak untuk membicarakan ayat-ayat suci dari kitab selain
agamanya. Sikap Ahok yang diduga
menistakan agama sangat berhubungan dengan nilai ketuhanan. Pancasila yang
menjadi dasar negara sudah menegaskan bahwa kesadaran akan ketuhanan telah
menjadi esensi terdalam dari Bangsa Indonesia. Dengan demikian, apabila ada
seseorang yang telah menistakan agama baik secara sengaja ataupun tidak
sengaja, orang tersebut telah melanggar nilai ketuhanan.
Sila Persatuan Indonesia adalah
persatuan kemanusiaan yang berketuhanan. Dalam peristiwa demo 4 November 2016,
tidak dapat dihindari bahwa demo sebagai alat untuk memecah persatuan bangsa
Indonesia. Terdapat beberapa indikasi bahwa demo bertujuan untuk mengganti
ideologi Indonesia menjadi ideologi yang berlandaskan pada satu agama tertentu.
Padahal, sudah sangat jelas bahwa sila Persatuan Indonesia adalah pengikat dari
bangsa Indonesia yang terdiri dari berbagai macam agama.
Semangat Bhineka Tunggal Ika merupakan
suatu keseimbangan. Bangsa Indonesia yang memiliki beragam suku, adat, tradisi,
agama tidak serta merta harmonis tanpa ada satu landasan yang mengikat.
Penerapan sila Persatuan Indonesia melalui semangat persatuan dan kesadaran
akan keragaman merupakan kewajiban yang harus dihayati oleh seluruh rakyat
Indonesia. Ketika ada suatu kelompok agama yang ingin mengganti ideologi
Pancasila dengan ideologi teologi, maka tidak ada lagi semangat keberagaman
dari bangsa Indonesia. Kesadaran nilai keragaman atau ke-Bhineka-an menjadi
point penting dalam meredam konflik.
Demo 4 November 2016 yang telah dilalui
berjalan dengan damai. Umat muslim yang menuntut Ahok atas penistaan agama
dilakukan dengan tidak anarki. Namun, yang terjadi pada akhir demo (lewat dari
pukul 18.00) ialah terdapat provokasi-provokasi yang menyebabkan kericuhan.
Jika memang provokasi yang dilakukan adalah sengaja untuk membuat konflik, maka
jelas bahwa demo dijadikan media. Permasalahan yang sesungguhnya ialah apakah
konflik yang dibuat atas dasar dugaan penistaan agama oleh Ahok ataukah ada
maksud lain dari konflik tersebut.
Q.S al-Maidah: 51 tersebut tidak ada
hubungan dengan pemilihan kepala negara atau kepala daerah. Kepala negara atau
kepala daerah sebaiknya orang yang mampu berbuat adil tanpa memandang suku dan
agama. Hal ini relevan dengan nilai ketuhanan dalam Pancasila. Tuhan diyakini
sebagai entitas tertinggi yang diyakini dalam kehidupan bernegara.
Demo 4 November 2016 merupakan
demonstrasi dalam menyampaikan aspirasi. Hal ini dilindungi Undang-Undang
mengingat negara Indonesia merupakan negara demokrasi. Menyampaikan pendapat di
muka umum adalah hak asasi manusia yang dijamin oleh negara. Menyampaikan
aspirasi merupakan hak setiap warga. Demo damai yang dilakukan atas dasar
tuntutan umat muslim kepada Ahok yang dianggap menistakan agama dan melanggar
hukum yang berlaku di Indonesia.
Tinjauan dimensi hukum dalam demo 4
November 2016 berkaitan dengan nilai keadilan dalam Pancasila. Adil dalam
pengertian ini ialah ketika umat muslim menuntut Ahok dengan menggunakan pasal
156a KUHP, dan dinyatakan bersalah maka ia harus menjalankan sanksi sesuai
dengan pasal tersebut. Namun, keadilan juga harus dijalankan ketika apa yang
dituntut oleh umat muslim kepada Ahok tidak termasuk dalam penistaan agama.
Nilai keadilan harus dijunjung tinggi.
Demo 4 November 2016 diinisasi sejumlah
ormas keagamaan untuk mendesak proses hukum terhadap Ahok yang dituduh menista
agama. Demo tersebut merupakan gerakan moral anak bangsa yang mengekspresikan
pandangan berdasarkan keyakinannya yang terusik. Gerakan esok adalah murni
penyampaian pendapat dan pengawalan penegakan hukum yang dibolehkan dalam
peraturan petundang-undangan sebagai bentuk kemerdekaan berserikat dan
mengeluarkan pendapat, karenanya seluruh pengawalan keamanannya hendaknya
dilakukan secara simpatik dan persuasif. Kedua, ia mengimbau seluruh pihak,
khususnya para demonstran dan aparat keamanan agar aksi tersebut dapat
berlangsung tertib, aman dan damai serta tak mengganggu kepentingan umum. Islam
itu cinta kedamaian dan damai itu indah, maka pertunjukkanlah Islam rahmah,
sambungnya. Romy juga mengingatkan agar seluruh pihak tak terpancing terhadap
kemungkinan adanya pihak ketiga yang memanfaatkan aksi tersebut untuk tindakan
yang memancing SARA, provokasi, intimidasi, maupun subversif baik dari dalam
maupun luar. Seluruh tuntutan pada aksi tersebut juga diharapkan
ditindaklanjuti oleh Polri secara profesional, akuntabel, transparan dan sesuai
dengan peraturan perundang-undangan. Romy juga mengimbau agar demonstran tak
membawa asesoris parpol dan kontestan Pilkada DKI 2017 pada aksi besok. Sebagai
parpol Islam terbesar di DKI Jakarta yang menjadi pengusung kontestan pilkada,
PPP menyerukan agar seluruh pihak mampu menjaga kemurnian aksi besok dari
politisasi yang bisa saja dikait-kaitkan dengan pilkada DKI 2017.
Kebebasan dalam menyampaikan pendapat
dimuka umum dijamin dalam undang-undang di Indonesia, kebebasan dalam
menyuarakan hal-hal yang dianggap benar haruslah dapat dipertanggungjawabkan
dan tidak melanggar hak-hak orang lain. Demonstrasi yang dilakukan oleh pemeluk
agama Islam pada 4 November 2016 di Jakarta sebagai bentuk protes terhadap
pernyataan Ahok yang dianggap menistakan agama dengan menyebutkan ayat suci
dalam Al-Qur’an. Respon dari berbagai lapisan masyarakat menunjukkan kepedulian
dan rasa terluka ketika apa yang diyakininya sebagai kebenaran dinodai oleh
sekelompok atau orang tertentu. Tentu dalam hal apapun penistaan terhadap agama
tidak bisa dibenarkan baik secara moral maupun secara hukum. Ketua PBNU Said
Aqil Siraj, menyatakan bahwa memang benar kalau pernyataan Ahok melukai umat
muslim, pernyataan yang disampaikan dipulau seribu sudah bukan kapasitasnya
sebagai Gubernur DKI. Pernyataan itu sudah diluar kompetensinya terlebih lagi
yang mengeluarkan pendapat tersebut dari nonmuslim (Kompastv.com, 14/11/2016).
Proses hukum terhadap kasus penistaan agama oleh Ahok harus ditegaskan dan
pihak berwajib harus adil dalam menangani kasus tersebut. Pemerintah sudah
memberikan pernyataan akan mengusut tuntas kasus tersebut dalam tempo yang
secepatnya.
Disisi lain, demonstrasi pada 4 November
2016 telah memberikan warna tersendiri dalam perpolitikan di Indonesia, warna
tersebut tidak bisa terlepas dari aspek-aspek yang melatar belakangi
rangkaian-rangkaian yang terjadi sebelum demonstrasi itu dilakukan. Mengingat,
Ahok merupakan petahana dan cagub DKI 2017. Reaksi dari ormas, tokoh
masyarakat, partai politik dan masyarakat tidak terdapat keseragaman dalam menanggapi
dugaan penistaan agama yang dilakukan Ahok, ada yang menolak dan ada yang
mendukung Ahok. Umat muslim yang melakukan demonstrasi menuntut proses hukum
terhadap Ahok tidak semuanya berlatarkan pada reaksi terhadap Surat Al-Maidah:
51, hal tersebut bisa terlihat dari ormas-ormas dan tokoh politik yang hadir
disana. Sebelum dugaan penistaan itu terjadi, golongan yang menolak Ahok
merupakan golongan yang sama saat menentang pengangkatan Ahok menjadi Gubernur,
menjadi lawan di Pilpres 2015 dan berlanjut ke Pilkada DKI 2017. Reaksi
penolakan tersebut terlihat dari beberapa argumen yang mereka lontarkan, Partai
Gerindra secara terang-terangan menolak pelantikan ahok sebagai Gubernur pada
tahun 2014, alasan penolakan tersebut adalah sikap Ahok yang keluar dari partai
Gerindra. Langkah Partai Gerindra diikuti oleh PPP, PKB, PAN dan PKS, tak hanya
disitu saja penolakan tersebut berlanjut pada tatanan ormas yang menjadi binaan
partai dan termasuk juga FPI (Ramadhany,2016:158).
Pelaksanaan Pilkada secara langsung dan
Kepala Daerah yang terpilih berasal dari salahsatu partai besar, maka hubungan
antara Kepala daerah dan DPRD akan cendrung berlangsung secara dinamis.
Memunculkan “cheks and balances’, yaitu adanya posisi yang sama kuat antara
Kepala Daerah dan DPRD. Disatu sisi, terdapat kepala Daerah yang dipilih secara
langsung oleh rakyat dan didukung langsung oleh salahsatu kekuatan politik di
DPRD, namun di DPRD juga terdapat kekuatan-kekuatan yang berseberangan dengan
Kepala Daerah terpilih. Kepala Daerah yang terpilih tidak begitu saja
sependapat dengan DPRD guna meloloskan kebijakan-kebijakan daerah yang
dibuatnya. Hal ini terjadi karena kekuatan-kekuatan politik yang menjadi
saingannya itu akan berusaha kritis, bahkan bisa menempatkan diri sebagai
kekuatan oposisi terhadap Kepala Daerah. Memang, DPRD sudah tidak lagi memiliki
otoritas untuk menjatuhkan Kepala Daerah melalui LPJ. Tetapi mengingat
kebijakan-kebijakan daerah harus melalui pembahasan dengan DPRD (Marijan,
206:2015). Beberapa kebijakan yang diambil oleh Ahok selaku Gubernur DKI
jakarta mendapat protes keras dari beberapa anggota DPRD, protes juga
dilayangkan oleh ormas-ormas yang ada di DKI. Secara terang benderang beberapa
ormas menyuarakan penolakan gaya kepemimpinan Ahok yang dianggap arogan, kasar dan
tidak berpihak pada rakyat. Penolakan dari ormas tersebut termasuk FPI mendapat
dukungan secara moril dan politis dari anggota DPRD yang berseberangan dengan
Ahok. Penolakan terhadap Ahok yang dimotori oleh FPI sudah berlangsung sebelum
Pilkada DKI 2012. FPI selalu berusaha mencari celah untuk menjegal dan melawan
Ahok, berjuang dalam ranah politis melalui kolega-koleganya yang ada di DPRD
hingga menurunkan massa dijalanan merupakan pemandangan yang sering dilihat
oleh masyarakat Indonesia di media-media yang ada. Mereka sepakat Ahok tak
layak menjadi Pemimpin Jakarta karena minoritas tak layak memimpin mayoritas.
Kebijakan Ahok sesudah menjabat pemimpin DKI dianggap telah mendiskriminasi
umat Islam dan FPI khawatir dengan gaya kepeminpinan Ahok yang terlalu arogan,
kasar, dan tak bermoral akan merusak DKI (Ramadhany, 2016:101).
Gerakan
4 November 2016 merupakan puncak penolakan terhadap Ahok beserta seluruh
kontroversi yang melekat pada dirinya dan diduga menjadi media bagi
kelompok-kelompok yang berseberangan dengan Ahok dan sekaligus menjadi media
penolakan terhadap pemerintahan Jokowi. Dugaan tersebut mungkin saja benar,
mengingat pernyataan-pernyataan yang dilancarkan oleh tokoh-tokoh masyarakat
dan tokoh-tokoh agama yang selalu berseberangan dengan kebijakan pemerintah.
Organisasi masyarakat yang berbasis agama yang berusaha melupakan Pancasila
seperti Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), Front Pembela Islam (FPI), meskipun FPI
tidak menolak Pancasila, tetapi mereka berkeyakinan bahwa demokrasi berbasis konsensus
seperti yang diatur dalam sila keempat Pancasila telah disalah tafsirkan oleh
kelompok nasional. Habib Riziek misalnya mengatakan bahwa melaksanakan
demokrasi liberal ala barat yang sekarang diterapkan di Indonesia jauh lebih
haram daripada memakan daging babi. Rizieq lebih jauh mengatakan bahwa umat
Islam yang melaksanakan demokrasi liberal ini bisa menjadi murtad karena
mengingkari hukum Islam (Khanif, 2016:170). Melihat realitas yang terjadi di
Indonesia, Pancasila sebagai ideologi
perekat nasional bangsa seakan
kehilangan ruhnya dan tidak mempunyai taring sama sekali. Pancasila tidak hanya
sebagai ideologi dan sumber hukum melainkan juga sejarah panjang pemikiran para
pendiri bangsa dalam menetapkan Pancasila sebagai konsensus nasional untuk menyatukan
Indonesia. Pancasila harus dijadikan inspirasi dalam berkehidupan hukum,
politik dan kehidupan sosial, dalam kasus penistaan agama seharusnya pemerintah
merespon dengan cepat karena kejadian tersebut merupakan hal yang sensitif.
Ketika Pancasila menjadi landasan dalam melakukan tindakan berupa demonstrasi
maka hasilnya adalah kepercayaan penuh terhadap proses hukum yang sedang
berjalan.
Setelah terjadinya demonstrasi 4
November 2016, dapat dilihat beberapa unsur skenario sebagai tujuan dari gerakan
tersebut. Pertama, gerakan tersebut merupakan kegiatan yang murni keluar dari
sanubari umat muslim sebagai bentuk protes terhadap pemerintah bagaimana telah
terjadi dugaan penistaan agama yang memang tidak pantas untuk diucapkan oleh
Gubernur dan harus diproses secara hukum. Umat muslim berjumlah ratusan ribu
dipimpin oleh ulama dan ustad menyampaikan isi hatinya dengan damai. Demo ini
terusik dan berakhir rusuh oleh unsur yang selanjutnya, unsur kedua; mereka
yang menyatakan pendapat dengan mencari celah atau media sebagai lahan
peperangan melawan Ahok. Kelompok ini melancarkan penolakan terhadap Ahok
dimulai sejak 2014, tujuannya adalah menggagalkan pencalonan Ahok sebagai Cagub
pada Pilkada DKI 2017, hal-hal yang berhubungan dengan Ahok selalu mendapat
kritik tajam dan berujung penolakan. Dimotori oleh tokoh-tokoh yang menjagokan
cagub dan cawagub dari pasangan diluar Ahok dan Jarot. Unsur ketiga hadir dari
kalangan elit politik nasional, mereka merupakan barisan pendukung Prabowo pada
Pilpres 2014. Demonstrasi menjadi media untuk menyerang pemerintah saat ini
yang dianggap melindungi penista agama dan kegagalan pemerintah dalam menjaga
kerukunan antar umat beragama, disisi lain barisan ini merupakan oposisi dalam
pemerintahan yang kerap berseberangan pendapat terhadap pemerintahan Jokowi,
sasarannya sangan jelas, menurunkan Jokowi dari tampuk kepemimpinan. Unsur
keempat adalah ormas-ormas yang anti Pancasila, menganggap pemerintah DKI dan
pemerintah Indonesia adalah haram karena menjalankan sistem demokrasi.
Dipelopori oleh FPI yang dalam berbagai kebijakan pemerintah selalu menjadi
barisan terdepan untuk menolak, terlebih lagi kebijakan daerah DKI Jakarta yang
jelas-jelas sangat dibenci oleh FPI. Unsur kelima adalah kelompok yang
memanfaatkan ketulusan umat muslim dengan menyisipkan paham-paham radikal dan
ingin menjadikan Indonesia layaknya ‘Timurtengah’, ingin menggantikan ideologi
Pancasila dan merubah haluan negara, menjadikan Indonesia dibawah kekuasaan
agama tertentu.
KEPUSTAKAAN
AL-Qur’an dan Terjemahnya
Al-Qur’an dan Terjemahnya. Departemen
Agama RI, 2008, CV. Penerbit Diponegoro, Bandung.
Kitab-Kitab Tafsir Klasik dan
Kontemporer
Al-Qurtubi, Syaikh Imam., 2008, Al-Jami’
li Akham Al-Qur’an Jilid 6, terj, Ahmad Khotib, Pustaka Azam, Jakarta.
Al-Razi, al-Fakhr., 1985, Mafatih
al-Ghaib. Jilid 7, Dar al-Fikr, Beirut.
Amrullah, Abdulmalik Abdulkarim., 2007,
Tafsir al-Azhar, Pustaka Nasional Pte Ltd, Singapura.
At-Thabari, Muhammad Ibn Jarir., 1994.
Jami’ al-Bayan Jilid 8, Dar al-Fikr, Beirut.
Dirdjosisworo, Soedjono, 2014, Pengantar
Ilmu Hukum, Divisi Buku Perguruan Tinggi, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta.
Jazairi, Syaikh Abu Bakar Jabir., 2007,
Tafsir al-Qur’an al-Aisar Jilid 2, Darus Sunnah Press, Jakarta.
Zuhaili, Wahbah., 1418 H, Al-Tafsir
al-Munir li al-Zuhaili Jilid 7, Dar al-Fikr al-Mu’ashir, Damaskus.
Shihab, Quraish, 2012. Al-Qur’an dan
Maknanya, Lentera Hati, Jakarta.
Shihab, Quraish., 2007, Tafsir al-Musbah
Jilid 3, Lentera Hati, Jakarta.
Buku-Buku
Kaelan, 2002, Pendidikan Pancasila,
Penerbit Paradigma, Yogyakarta.
Khanif. Al, dkk, 2016, Pancasila Sebagai
Realitas; Percikan Pemikiran tentang Pancasila dan Isu-isu Kontemporer di
Indonesia, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
Marijan. Kacunng, 2015, Sistem Politik
indonesia; Konsolidasi Demokrasi Pasca –Orde Baru, Pernada Media Group,
Jakarta.
Notonagoro, 1971, Pengertian Dasar bagi
Implementasi Pancasila untuk ABRI, Departemen Pertahanan dan Keamanan, Jakarta.
Notonagoro, 1980, Beberapa Hal Mengenai
Falsafah Pancasila, cet. 9, Pantjoran Tujuh, Jakarta.
Notonagoro, 1987, Pancasila Secara
Ilmiah Populer, cet. 9, Bumi Aksara, Jakarta.
Ramadhany, Cahaya. 2016, Jakarta Baru
Kita Mulai; Mewujudkan Ibu Kota Bermartabat dan Manusiawi, Galang Press,
Yogyakarta.
Soeprapto, Sri, 2013, Konsep Inventif
Etika Pancasila Berdasarkan Filsafat Pancasila Notonagoro, UNY Press,
Yogyakarta.
Subhan, M. dkk. 2013. Tafsir Maqashidi
Kajian Tematik Maqashid Al-Syariah, Lirboyo Press, Kediri.
Suseno, Franz Magnis, 2001, Etika
Politik. Prinsip-prinsip Moral Kenegaraan Modern, PT. Gramedia Pustaka Utama,
Jakarta.
Undang-Undang
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
Sumber Internet
https://www.arrahmah.com/news/2014/09/24/fpi-kemukakan-lima-alasan-tolak-ahok.html diakses pada 11 November 2016.
http://www.bbc.com/indonesia/indonesia-37893315
diakses pada 11 November 2016.
http://news.detik.com/berita/3287097/segudang-alasan-pkb-tolak-ahok
diakses pada 11 November 2016.
http://www.jawapos.com/read/2016/08/29/47605/demokrat-tolak-ahok-ruhut-ada-pembisik- sby/3 diakses pada 11 November 2016.
http://jateng.tribunnews.com/2016/11/02/mui-tak-larang-umat-islam-ikut-demo-4-november diakses pada 11 November 2016.
http://metro.sindonews.com/read/1152562/170/demo-4-november-demokrat-pinta-kader-tak-gunakan-atribut-partai-1478184200
diakses pada 11 November 2016.
http://megapolitan.kompas.com/read/2014/09/10/15110301/Ahok.Saya.Sudah.Resmi.Keluar.dari.Gerindra
diakses pada 11 November 2016.
http://megapolitan.kompas.com/read/2016/09/21/20201121/gerindra.ingin.head.to.head.lawan.ahok.ada.skenario.sandiaga.-yusril
diakses pada 11 November 2016.
https://www.merdeka.com/politik/tak-anggap-ahok-fpi-sebut-pilgub-dki-cuma-pertarungan-agus-anies.html
diakses pada 11 November 2016.